Wednesday, March 21, 2012

Cerpen Ketiga

REMANG-REMANG RESAH
lomba cendol centura


Getar suara membahana memenuhi alam jagat jiwa. Gelegar getar dari asal bus yang kutumpangi, ditambah nyanyian tembang lawas era 80-an yang dikumandangkan dan gemetar perasaan cinta terburai dalam dada. Sungguh, kepulangan yang meresahkan.
Rasa itu telah aku tambatkan pada seorang gadis yang baru saja kukenal, peserta seminar bernama Kilan. Gadis asal Majalengka yang menyerahkan seluruh hidupnya hanya untuk belajar. Menjadi santriwati di sebuah Ponpes di Cirebon plus menjadi mahasiswi semester lima Fakultas Tarbiyah ini bercita-cita menjadi guru agama multi talenta, yang tidak hanya menguasai ilmu agama saja tapi juga ilmu-ilmu modern lainnya. Kalau tidak salah begitu ia menjelaskannya padaku. Pokoknya guru agama yang keren abis, berwajah manis dan penuh romantis.
Aku sibakkan handphone-ku lalu kubuka kembali pesan yang beberapa jam sebelumnya aku kirim ke dia. Dari sekian banyak pesan yang masuk, satu pesan tampak mengeryitkan keningku.
Iya.. bakal kangen banget atuh!
Sesaat aku tersenyum lebar. Persis seperti kerupuk yang baru digoreng diatas tungku panas, lebar membesar. Atau mungkin seperti bunga yang kebanyakkan merekah dipagi hari. Setelah dicumbui embun dan disusui matahari. Ah, aku pun ingat balasan kata-kataku saat itu.
Hmm, beneran?
Beneran dong masa bohong! Balasnya.
Padahal sebelumnya aku tidak menyangka akan bertemu dengan dia. Sungguh, suatu nikmat yang tak terpermanai. Awal pertemuan yang menurutku terbilang sangat kebetulan. Tapi sungguh tidak ada di dunia ini peristiwa kebetulan. Semua sudah dilayarkan takdir dari balik tabir yang mendetak kemudian sampai pada kita muaranya.
Acara seminar Workshop penulisan yang diadakan segelintir orang-orang yang mengatasnamakan pecinta sastra fiksi. Bertekad memasyarakatkan sastra dan mensastrakan masyarakat. Ya, aku pun ikut larut di dalamnya. Mendatangi setiap acara-acara yang diselenggerakan mereka, terlebih di Cirebon kemarin. Sebab itu merupakan awal pertemuanku dengannya.
***
Petala langit terlihat tampak murung, tiba-tiba saja. Mungkin di musim pancaroba seperti ini memang hal lumrah cuaca panas mendadak dirundung mendung. Angin kencang bermuatan butiran-butiran air menerjang bus yang kutumpangi. Perlahan garis-garis jernih terlihat berjatuhan di sebelah timur bebukit kemudian merambat ke barat. Terdengar berisik gemericik berbisik pada langit-langit. Setelah kurang lebih setengah jam, juga secara tiba-tiba hujan berhenti. Dari arah timur diatas bebukit basah muncul warna-warni bergradasi. Makhluk Tuhan yang seringkali dinyanyikan anak-anak dengan riang gembiranya, berjingkrakan dan bertepuk tangan. Aku pun terpekur meresapi.
“Lihatlah, Nak!?” Lelaki tua yang duduk bersebelahan denganku menyibak kain hordeng. “Itu adalah bukti kuasa Gusti Allah yang ada di muka bumi” Ia menunjuk gradasi pelangi di atas bukit.”Tapi orang-orang masih saja menyekutukan kuasa-Nya.”
Aku sudah tahu sebelum lelaki tua itu menyuruhku melihat pesta pelangi. Namun aku tak mau menyakiti perasaannya. Aku mendongakkan kepala menuju ke arah yang ditunjukkan lelaki tua itu. “Subhanallah, maha kuasa Gusti Allah!” ucapku penuh takjub.
Sebelumnya ia menanyakan namaku, dari mana dan mau kemana. Iman, dari Bumiayu. Kebetulan aku habis menghadiri acara seminar penulisan dan sekarang mau pulang lagi ke rumah. Begitu jawabku pada lelaki tua itu. Tanpa nama. Sebab aku tak berani menanyakan namanya. Cuma sekedar alamat, katanya dia orang Cirebon dan mau pergi ke Pekalongan.
Sinar senja menamparku dari balik jendela. Menyentuh dengan penuh lembut bulu mata hingga aku pun terbangun dari kantuk. Aku lihat lelaki tua itu masih men-tadabburi sisa-sisa pelangi. Ingin ku tanyakan sesuatu tentang pengalaman hidup padanya tapi nyaliku menciut. Aku tak berani. Apa karena aku tak bisa bahasa kromo dan takut dibilang tidak sopan berbicara pada orang tua? Atau karena memang dari dulu aku orang yang tertutup sampai menyapa orang asing pun aku luput? Batinku berkecamuk.
Remang-remang sinar lampune madangi
Kadang keton lintang wis ora perduli
Kula seneng waktu deweke njanjeni
Wong ganteng aja gawe lara ati
….
Remang-remang sepanjang jalan pantura
Gadis manis pada midang pinggir dalan
Jare seneng bisa bantui wong tua
Kadang nangis urip mengkenen sampai kapan
Lagu dangdut pantura atau lebih dikenal dengan sebutan Tarling Pantura, mengalun mesra menemani surut senja. “Nak, apakah kamu tahu makna lagu Remang-remang itu?” tanya lelaki tua itu menatapku. Waduh, walaupun bahasanya sama dengan bahasa yang ku gunakan, Jawa Pantura tapi tetap saja aku nggak tahu. “Nggak, pak!” jawabku gugup. Ia tersenyum melihat tingkahku.
“Lagu ini menceritakan tentang kisah perjuangan perempuan yang berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya yang keras. Berusaha untuk memenuhi segala kehidupannya terhadap cinta dan harta. Cinta akan kasih sayang terhadap orang yang disayanginya, dan harta demi kebutuhan hidupnya.” jelasnya pelan sambil merogoh saku baju, mengambil bungkusan rokok kretek. Lalu ia menawariku namun aku menolak secara halus.
Kepulan asap menyembul dari mulutnya. Bara rokok terlihat merah menyala ketika mulut kering lelaki tua itu menghisapnya, seperti mata iblis yang penuh dendam terhadap manusia. Posisi duduk kami yang memang berada paling dibelakang mungkin menguntungkan. Asap rokok tak mengganggu orang lain sebab begitu mengepul angin kencang laju kendaraan langsung menariknya ke udara.
Cekikikan seorang wanita muda bersama sopir bus dan kondekturnya menelusup ke telinga. Gurauan manja si wanita membuatku tak tahan dan merasa risih ditambah sentuhan tangan si sopir yang mencolek pipi si wanita kemudian menyekapnya. Uh, dasar tak tahu malu! Sah-sah saja mereka bertingkah seperti itu tapi mbok yo jangan ditempat umum apalagi diatas bus yang sedang dikendarainya. Apa tidak takut nabrak nanti gara-gara tidak konsentrasi. Jangkrik! Umpatku dalam hati.
Tiba-tiba aku ingat penjelasan lelaki tua disampingku tentang lagu remang-remang tadi. Tentang perjuangan kebanyakan perempuan terutama di daerah pantura ini, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang keras itu. “Pak, bapak lihat wanita di depan bareng sopir itu?” tanyaku tanpa rasa takut sambil menunjuk arah depan. “Ya, bapak lihat dan tahu siapa wanita itu. Itu sudah hal biasa, Nak!” jawabnya mantap.
“Tapi…”
“Tapi apa?”
“Bukankah itu tidak sopan, bermesraan di depan umum apalagi dengan wanita bukan muhrim” tanyaku lagi dengan sok mengerti hukum islami.
“Itu wanita penghibur, Nak! Lha kan sudah jadi profesinya, menghibur setiap laki-laki yang diinginkannya. Itu salah satu contoh kehidupan wong cilik yang rela melakukan apa saja asalkan bisa membahagiakan keluarganya” terangnya.
“Iya, tapi apa harus melacur diri seperti itu?”
“Nak, hidup itu pilihan. Mereka mau memilih jalan yang baik ataupun buruk itu sudah menjadi hak mereka. Memang dalam islam jelas dilarang. Gusti Allah mengutuk keras orang-orang yang berbuat zina. Dan hidayah Allah itu tidak bisa kita datangkan lalu kita berikan terang-terangan pada mereka. Kadang mereka tak menghiraukan malah mencemooh ajakan kebaikan kita. Itu sudah urusan Tuhan. Kita sekedar mendoakan semoga mereka diberi kesadaran” jelasnya panjang lebar. Aku mengangguk pelan.
“Apa itu yang dimaksud dari makna lagu remang-remang?”
“Ya, begitulah..”
“Uang, uang seringkali membutakan banyak orang”
“Bukan hanya uang, Nak! Jabatan, popularitas dan setumpuk kepentingan juga ikut bermain-main di dalamnya” tambahnya.
***
Semangat pagi, Kakak..
Isi sms yang kubaca dari Kilan. Hm, baru jam empat sudah nyemangatin begitu. Maklum dia kan santri mungkin habis sholat malam, semangat pagi-nya masih meletup-letup hingga sisanya ia tularkan padaku. Batinku menduga-duga seraya kedua bibirku tertarik kebelakang. Tersenyum kecil. Padahal rasa malas untuk bangun masih menyerang karena badan masih pegal-pegal habis pulang acara kemarin. Tapi buru-buru aku balas sms-nya.
Semangat pagi juga, Adek.. :D
Ayo bangun, Kak! Ambil wudlu sekarang!
Iih, dasar nih anak! Tau aja orang lagi malas-malasan bangun. Dengan langkah gontai kuturuti saja ajakan dia walau dengan sangat terpaksa. Kenapa kok tiba-tiba aku mau saja menuruti keinginannya? Ajakannya ibarat candu yang memabukkan, apa ini yang dinamakan setia terhadap pasangan? Hey, dia belum resmi jadi pasanganku. Ah, biarlah nanti hati nurani yang memelukku. Sekarang aku tak mau berspekulasi lebih dalam lagi. Huuft!
Beberapa hari kemudian ada kabar tidak enak dari bapak ibunya di rumah. Ia di suruh pulang sebentar. Rani, adik perempuannya yang masih duduk dibangku SMP terlihat sering keluyuran bareng temen-temen cewe satu kelasnya. Kalau sekali dua kali mungkin tidak apa-apa, tapi ini hampir setiap malam hari ia selalu pergi. Ini tak baik bagi pandangan sebagian orang. Adiknya yang satu ini memang terlihat agak bandel dan sangat berbeda dengan kakaknya. Ia sudah seringkali dinasehati bapak ibunya agar tak ikut-ikutan temannya. Mungkin karena ia masih labil terus belum dimasukkan ke pesantren, jadi tingkahnya masih ikut pergaulan anak-anak seusianya.
“Iya, Kak! Besok aku pulang dulu ke rumah” ucapnya via telepon
“Oh.. ya sudah, hati-hati, Dek!” timpalku
“He’eh.. makasih, Kak?”
“Yup! Jangan lupa, kalau sudah nyampe rumah salamin buat bapak ibumu, ya? Terus jangan pakai bentak-bentak segala pas nasehatin adekmu, oke?” pesanku sedikit memaksa.
“Iyaaa.. sudah ya? Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam..”
Belum lama aku berkata-kata dengan Kilan via telepon, Anisa -sepupuku- ia masuk ke kamar mendekatiku dan berkata, “Mas, ngerti bli? Si Fitri anaknya Pak Dul itu lho.. dia kemarin tertangkap warga sedang berduaan dikamar bareng si Joni. Walaupun belum sampai berbuat yang lebih macam-macam yang jelas itu sudah bikin malu para warga disini.”
“A.. apa, Nis?” aku tergagap tersadar dari pikiranku yang tak menentu.
Moso iyo tho, Nis? Bukannya Fitri itu anak pesantren? Mana mungkin ia begajulan seperti itu?” tanyaku seakan tak percaya.
“Iyalah.. Anak pesantren sekarang belum menjamin akhlaknya benar kalau pergaulannya masih ngikut temennya yang begajulan. Nisa juga kadang sering tergoda pengin ikut-ikutan gaya mereka yang katanya gaul abis tapii.. aku nggak lah..” sedikit terbata.
“Wah, hebat sepupuku yang satu ini, pintar jaga diri!
“Ah, mas bisa bae
“Tapi beneran loh, banyak ABG zaman sekarang yang terbawa arus modernisasi dan bertingkah terlalu berlebihan. Adiknya temenku juga sama, sering keluyuran malam. Mending niatnya untuk belajar kelompok atau ngerjain sesuatu yang bermanfaat, kebanyakan malah kumpul-kumpul sekedar nyari pasangan untuk dijadiin pacar saja. Makanya sekarang kamu lebih berhati-hati dalam bergaul.” gayaku sedikit berceramah.
“Oke, bos! Oh ya, katanya mas ada hati sama Fitri, hayo ngaku?” terka Anisa seraya mencubit lenganku.
“Itu kan dulu, Nis. Makanya sekarang nggak perhatian kayak dulu lagi”
“Hmm, emang sekarang lagi deketin siapa lagi? Kasih tau Nisa dong?”
“Ada dech.. ” jawabku sambil berlalu keluar kamar.
“Huh, dasar! Ditanyain malah nyelonong pergi” omel Anisa
Haha.. emang enak dicuekkin?” balasku sambil menutup pintu. Braaak!
***
Selang beberapa hari kabar buruk lagi-lagi tersiar dan mendegupkan jantungku. Ternyata sepupuku yang katanya pintar jaga diri malah terdengar kabar ia ketahuan warga sedang dalam keadaan setengah telanjang bersama pacarnya di kamar setelah pintunya di dobrak warga. Sebelumnya warga sudah mencium gerak-gerik kecurigaan ketika melihat ada seorang pemuda masuk ke rumah Anisa namun melebihi jam dua belas malam belum juga keluar. Kebetulan rumahnya sepi karena bapak ibunya lagi nengokin mbahnya yang sakit.
“Ya Allah.. Cobaan apalagi yang menimpa kampungku. Apalagi kali ini menimpa keluarga dekatku” protesku dalam hati.
“Inikah yang disebut kuasa takdir-Mu? Tapi bukankah setiap perbuatan yang dilakukan juga berdasarkan akal pikiran dan kehendak mereka? Sudah sedemikian bejatkah moral kami para orang tua yang lalai terhadap anak-anaknya? Padahal tiap waktu doa-doa kebaikan selalu kita panjatkan. Agar kelak dalam menjalani hidup tak ada kejadian buruk yang tak diinginkan” protesku masih dalam hati. “Astagfirullah..” ucapku tersadar.
Aku cepat-cepat berlari ke rumah Anisa. Tampak banyak warga masih berkerumunan di sekitar rumah. Kemudian ku dapati Anisa dan temen lelakinya sedang diapit warga. Keduanya tertunduk malu. Warga sepakat untuk mengkawinkan paksa keduanya yang telah terbukti melakukan perbuatan zina.
“Pokoe mereka kudu dinikahkan” ujar seorang warga.
“Iya, mereka sudah terbukti bersalah” sahut yang lain.
“Kita seret saja ramai-ramai ke KUA biar tau rasa!” imbuh yang lain penuh emosi.
“Tenang.. tenang.. bapak-bapak ibu-ibu saudara-saudara, harap tenang! Masalah ini kita selesaikan dengan musyawarah” jelas Pak RT menengahi.
“Tapi ini sudah kelewatan, Pak? Kalau dibiarkan mereka akan keterusan dan satu-satunya jalan ya keduanya harus dinikahkan”
“Iya, besok kita adakan musyawarah saja di rumah Pak RT. Kita bahas masalah ini lebih dalam lagi sambil menunggu kedatangan kedua orang tua mereka yang katanya besok bersedia berkumpul bersama” usulku tiba-tiba.
“Ya sudah.. Bapak ibu saudara sekalian, besok kita bermusyawarah di rumahku. Jangan lupa hadir terutama para saksi mata yang melihat langsung kejadian ini” terang Pak RT.
Mendengar penjelasan dari Pak RT tentang masalah ini, lalu para warga mengiyakan. Mereka janji besok akan hadir bermusyawarah. Dan lagi-lagi aku terpekur. Memandangi wajah sendu Anisa dan merenungi peristiwa yang sedang menimpa keluarga kita. 

-selesai-

Bumiayu, 02 September 2011

No comments:

Post a Comment