Sunday, December 21, 2014

Kegagalan Anggaplah Angin Lewat


Sepercik kegamangan mulai saya rasakan selepas lulus Madrasah Aliyah. Bimbang antara memilih mengajar atau mencari kerja. Satu sisi manut perintah guru, atau mengikuti jiwa muda merantau ke Jakarta. Saat itu yang lebih dominan dalam pikiran adalah bekerja di perusahaan-perusahaan bonafit yang ada di kota, walaupun hanya berbekal ijazah SMA. Lumayan bila diterima, pikiran membantu meringankan beban orang tua terbayang di kepala. Ya, akhirnya saya sowan ke guru, minta izin tidak bisa mengajar, biarlah teman-teman yang lebih menginginkan saja yang mengajar. Sedangkan aku bertekad ingin mencari pekerjaan. Bukan, sungguh bukan maksud hati membangkang, namun panggilan hati lebih menuntun saya untuk terus belajar. Belajar mengejawantahkan ilmu pendidikan dalam nilai bermasyarakat. Bertahan hidup di tengah mudahnya godaan syahwat dan kerasnya persaingan meneteskan keringat.

Bersama seorang teman yang juga baru sama-sama lulus, saya memberanikan diri berangkat ke Jakarta. Kebetulan Bapak teman saya sudah lebih dulu berkecimpung menjadi pedagang di sana. Jadi, kita tidak bingung lagi mau menumpang tidur dimana dan setidaknya ada referensi mau melamar ke perusahaan mana saja. Kemudian seiring berjalannya waktu, cita-cita bekerja di perusahaan belum juga terlaksana. Banyak faktor; banyak pencari kerja, adanya uang pelicin, dan tentunya modal ijazah yang hanya lulusan setingkat SMA. Perjuangan tetap berjalan. Walaupun kadang pesimistis dan putus asa kerap membuntuti dalam diri.

Dunia tidak akan pernah berhenti berputar di saat kita gagal. Mungkin kata-kata ini yang terus menyulut semangat saya dan teman untuk tetap menghargai waktu, menggunakannya sebisa mungkin agar lebih baik. Kesuksesan teramat dekat sedang kegagalan anggaplah angin lewat.

Dan benar bukan... perjuangan dengan sungguh-sungguh itu mesti membuahkan hasil yang manis juga pada akhirnya. Entah berapa lama waktu datangnya. Yang pasti, ketekunan, kesabaran, kemauan untuk terus belajar  menjadi kunci. Saya ingin menjadi pejuang bukan menjadi pecundang. Sekarang saya telah bekerja di sebuah perusahaan manufacturing berpusat di Tangerang. Seiring berkembangnya perusahaan maka dibukalah cabang perusahaan di daerah-daerah. Saya ditunjuk oleh perusahaan sebagai kepala cabang di daerah Jawa Tengah. 

__

Wednesday, February 19, 2014

Tikung

by. Rossi Elbana - Nurlaila Yusuf

Dinginnya AC sering membuat Rio flu. Belum lagi layar monitor LCD yang membuat minus matanya bertambah parah karena terus menerus ia pelototi. Tumpukan blocknote rekapitulasi pelan tapi pasti, menyebabkan kerutan-kerutan di dahi. Aku suka laki-laki, ulangnya dalam hati. Rio masih tak percaya. Ah, masa iya… tanyanya pada diri sendiri. Di ingatnya lagi obrolan dengan seorang teman.
“Kamu kepikiran muka dia seharian, kamu terus-terusan ingin ketemuan. Trus apa lagi? Itu namanya cinta yo!” Ditariknya nafas perlahan lalu dibuangnya nafas itu pelan-pelan. Sesosok wajah kembali terbayang, sekilas tapi membekas. Senyum lembut, rambut hitam, bulu mata panjang. Sejak kapan lelaki bisa terlihat secantik itu?
“Ini musti omong kosong…” desahnya putus asa pada layar komputer.
“Kenapa, Yo? Parah ya materinya?” tanya seseorang dari belakang. Kevin!
"E-eh? euh… iya. Kamu belum pulang?" jawab Rio panik.
“Ohhh, enggak saya ada kerjaan yang kelupaan, yakin gapapa?” Kevin tersenyum khawatir. Ini…  raut inilah yang membuat aku gila. “Yakin!” dengan kesal Rio membalik badan dan berusaha terlihat sibuk dengan pekerjaan.
***
Bekerja untuk media massa memang dibilang merupakan pekerjaan berat. Deadline, tuntutan publik, ancaman politik berita-berita negative membuat mental siapa pun mudah sakit. Dan itulah yang terjadi pada Rio. Kini mental dan jiwanya sakit. Di satu tahun terakhir, pelan tapi pasti orientasi seksualnya mulai berganti. Di tengah himpitan pekerjaan dan konflik batin akibat ketidaksetiaan pasangan, akhirnya Rio menyerah, ia menengadah pada nasib yang membawanya ke keadaan terendah lalu meminta Tuhan agar mengijabah doanya atas seseorang. Dan akhirnya seseorang itu datang, tepat tiga bulan yang lalu. Orang itu datang, tetapi sayang ia bukan perempuan.
Kevin. Anak baru di kantornya. Ialah lelaki yang berhasil membuat Rio berada di titik ternyaman dalam kehidupan. Meski baru kenal, Rio merasa bahwa Kevin adalah untuknya. Cara Kevin menyapa dan memperhatikannya. Empati kebaikan hati lelaki anggun berkulit putih pucat itu berhasil meluluhlantakkan pertahanan Rio. Terasa berat di awal ketika tahu bahwa dirinya tak lagi memiliki hasrat untuk kaum hawa dan malah jatuh cinta dengan salah seorang teman pria. Namun, entah bagaimana Rio kini berhasil menerimanya. Menerima kenyataan bahwa ia kini terpaut sepenuhnya pada Kevin.
Sebenarnya Rio dulu punya perempuan kecintaan. Gadis manis itu bernama Mela. Ia menjalin hubungan dengan Mela sejak SMA. Semua baik-baik saja hingga pada akhirnya Mela mengkhianatinya. Mela yang Rio cintai setengah mati berhasil menjadi pemicu dari bom waktu yang digenggam Rio sejak dulu. Mela berhasil meledakkan amarah dan memunculkan lubang besar di hatinya akibat pengkhianatan. Setelah ibunya, kini Mela. Rio tak pernah menemui wanita setia dalam hidupnya.
Betapa sakit hati Rio. Ia mencintai Mela melebihi rasa cintanya pada eskrim vanilla. Ia selalu meletakkan posisi Mela di atas kepala. Nyaris selama dua tahun penuh Rio membiarkan hatinya berlubang, ia kesakitan tapi semua berhasil ditahan dengan menyibukkan diri di pekerjaan.
Di awal, setelah ia bertransmigran dan mulai bekerja di perusahaan, rasa rindunya sering membentur kepulauan dan mimpi hidup bersama pujaannya payah di tengah jalan. Ia tak lagi ingin memiliki pasangan. Rio sering menelan puisi dan membuat coretan-coretan cinta yang kini terasa konyol untuknya.
Karena cinta, keypad kalkulator
serasa buah kurma manis menor
Karena cinta, tumpukan blocknote tagihan
serasa surat cinta sang pujaan
Karena cinta, angka rumus matematika
serasa lekuk tubuh sang idola
Kemudian kekuatan mantra coretan-coretan itu lagi-lagi lemah dan akhirnya masuk tong sampah. Seperti memang sudah ditakdirkan, cinta putihnya, memerah. Mengamarah. Walau tidak sepenuhnya cinta itu muntah. Ia terlanjur putus asa. Dan rindu di awal titik itu berakhir benci setelah koma. Hingga akhirnya Kevin datang. Orang yang dinantinya. Lelaki berparas cantik. Si penyelaras bahasa di divisi yang sama.
Esok adalah hari Valentine, dengan segala keberanian yang berhasil ia kumpulkan, esok Rio akan menyatakan perasaannya pada Kevin. Ya, Rio sadar bahwa menyatakan cinta pada seorang pria adalah gila, tapi ia sudah tak peduli lagi. Bukankah cinta mengalahkan segalanya? Bukankah itu juga berarti cinta tanpa logika?
Ia ingin memiliki Kevin. Ia ingin menggenggam tangan lentik yang menghiburnya dengan segelas kopi, ia ingin mengecup mata indah yang menatapnya dengan watir akibat deadline yang getir. Setelah bermalam-malam mendamba, besoklah saatnya.
“Kebetulan saya juga memang mau ngobrol sama kamu, Yo” jawab Kevin ketika Rio mengajaknya untuk pergi minum sepulang kantor. Rio tersenyum simpul melihat ekspresi bahagia Kevin yang dirasakannya dari pagi. Sejak berhasil menerima kenyataan sebulan lalu, hubungan Rio dan Kevin kian membaik. Rio tak lagi menghindari lelaki itu, justru sebaliknya, kini ia sepenuhnya membuka diri pada Kevin.
***
“Kamu mau saya jadi saksi nikah?” tanya Rio, mulutnya kering. Kevin mengangguk lalu tersenyum geli, “Gak usah sekaget itulah! Kamu gak percaya saya sudah punya calon?” Rio menelan ludah dan bongkahan sakit yang tiba-tiba meledak di kerongkongan. Dadanya mencelos. Ditatapnya Kevin lekat-lekat, “Pasanganmu perempuan?” tanya Rio, suaranya serak. “Aahahaha, pertanyaan macam apa itu? Ya perempuanlah! Malah malam ini saya mau kenalin orangnya ke kamu…”
“Kenalin ke saya?” ulang Rio getir.
“Ya, dia mau kenal sama kamu. Saya sering cerita soal kamu ke calon istri, bukannya cemburu dia malah ngebet mau ketemu. Agak watir juga sih ngenalin kalian… kamu kan tipe yang ditaksir banyak perempuan, hahaha” Mendengar ini, jantung Rio terasa dipalu bertubi-tubi. Namun dipaksakannya untuk tetap tersenyum.
“Ah! Itu orangnya,” tiba-tiba telunjuk Kevin mengarah ke belakang punggungnya, Rio menoleh. Pemandangan selanjutnya membuat Rio kaget bukan kepalang. Di sana, di tengah keramaian kedai minum, berjalan perempuan mungil yang ia kenal. Mela?
***
“Gak nyangka ya, Ar? Rasanya baru kemarin anak ini kasih undangan pernikahannya ke saya…” bisik seseorang di belakang Rio.
“Hm, saya gak kira kalau nasib dia bakal begini,”
“Semoga mereka berdua berjodoh di alam sana ya…”
Mendengar ini, mata Rio meruncing sebal. Ditengoknya orang yang baru saja berbicara, itu Seto kawan kantornya dari bagian penyelaras bahasa. Kalau begitu, besok kau akan jadi saksi nikah mereka, sahut Rio tanpa suara.
Pastor mulai mengucapkan kata-kata terakhir di depan dua makam segar yang baru selesai ditimbun. Rio menangis, diambilnya saputangan berbercak merah, di genggamnya saputangan itu erat-erat.
-o0o-
source: kompasiana.com

Saturday, January 25, 2014

Kain Berdaging

rossi elbana
KAIN BERDAGING

dalam balutan kain tipis
daging-daging menari atletis
sungguh beruntung
nasib angin beliung
tangannya dapat mandat
meraba-raba daging berurat
ohoi, nikmat!

kain-kain berdaging
daging-daging berkain
dagang kain
dagang daging
ohoi, sikat miring!

boleh dilihat sesuka
tapi ingat, hanya angin yang dapat meraba
kalau kau ingin mencoba
cuci tangan dulu lalu bayar sewa

harga kain boleh turun merangkak
harga daging tetap melonjak
ohoi, dongkrak!

daging berlapis kain
lebih murah dibanding
daging tak berkain
kain tak berdaging
lebih baik dibanding
tak berdaging tak berkain

kain-kain berdendang
daging-daging bergoyang
angin-angin menggelinjang
ohoi, tanganmu meradang!
__


January 21, 2014 at 8:50pm