Monday, November 5, 2012

Cerpen Kesembilan

LINTAH PEMILU


ki sentanu
foto: half-life.wikia.com

Tiba-tiba kepala Karmin merasakan nyeri luar biasa. Ada puluhan lintah numpang minum darah di atas ubun-ubun kepalanya. Segera jemari tangannya mengibas, menyingkirkan lintah-lintah. Mencabuti satu-persatu beban sakit yang membuatnya menjerit. Bahkan saking banyaknya, sebagian tubuh mereka bergelantungan di keningnya.
“Arrghh!”
Karmin meronta merana.
Mulutnya menganga. Menahan geli sekaligus lara. Ludah getir perlahan menggelinding ke tenggorokan. Setengah tak sadar tubuhnya limbung ke lantai. Ternyata hisapan lintah tersebut semakin menghujam, mengikis habis persediaan darah. Hingga melumpuhkan tulang persendian.
“Pak, ada apa? Bapak kenapa?” teriak Tumirah -istri Karmin- sambil lari tergopoh-gopoh mendekati suaminya. Setelah secara spontan melempar kayu bakar hasil buruannya sore ini di teras depan rumah. Kemudian ia mengguncang-guncang tubuh suaminya yang bersender di balai bambu ruang tamu, “Nyebut, Pak… nyebut! Eling kali gusti Allah” ujarnya terus-menerus.
“Arrrghhh!”
Karmin lagi-lagi meronta.
Kedua tangannya masih setia mencabuti lintah di kepala. Tapi semakin ia cabut, rasanya semakin bertambah lintah-lintah menusuk kerangka kepala. “Lintah, Bu! Banyak lintah di kepalaku. Tolong… tolooong!” jerit Karmin ke segala penjuru.
Oalah… ndak ada lintah, Pak. Koyo wong gemblung ae. Eling tho, Pak!” seru Tumirah, gundah.
Entah berapa kali Karmin menjerit, menahan rasa sakit yang tak mau berkelit. Dalam samar-samar ia melihat Tumirah berlari keluar. Tak berapa lama, ia datang lagi sambil membawa Mbah Rusdi, orang pintar di desa mereka dan beberapa warga juga turut serta.
“Mbah, tolongin Kang Karmin. Dia berteriak-teriak seperti orang gila” pinta Tumirah pada Mbah Rusdi.
“Iya, Bu! Akan saya usahakan. Ibu tenang saja” balas orang pintar itu.
Dalam jejal kerumunan para warga, Karmin seperti sebuah mainan penghibur mereka saja. Sebab dalam pesakitan, mulutnya acapkali mengeluarkan kata-kata vulgar, “Lintah keparat! Gigitanmu luar biasa dahsyat! Seperti kemaluan laki-laki menusuk lubang farji! Tapi terasa nikmat! Hahaha…”
Gelak tawa para warga memenuhi balai tamu rumah mungilnya. Rumah sangat sederhana sekali, namun antusias keingintahuan warga mengenai ketidakpercayaan akan ‘ketidakwarasan’ Karmin besar sekali.
“Min, min… kasihan sekali dirimu. Hutang telah menjerat kewarasanmu” iba salah seorang warga.
“Mungkin gemblung gara-gara harga sembako melambung!” timpal yang lain.
“Ya, mungkin juga karena isu kenaikan harga BBM yang jelas dampak susahnya bermuara pada rakyat-rakyat kecil seperti kita”  ujar yang lain ikut menambahkan.
“Mungkin juga karena terlalu memikirkan hutang-hutangnya yang ratusan juta itu belum juga terbayar” ledek Paijo. Matanya melirik ke Tumirah.
Memang akhir-akhir ini tersiar kabar bahwa Karmin begitu depresi. Ini bermula sehabis ia mencalonkan diri sebagai kepala desa di Karangsengon, tempat tinggalnya. Tetapi nasib berkata lain, ia gagal menjadi kepala desa. Bermodal pas-pasan itupun hasil dari meminjam kas sebuah Pondok pesantren, ludes buat dana kampanye. Sebuah tindakan yang terbilang berani mengambil konsekuensi. Demi sebuah jabatan gengsi.
“Sudah, sudah… kalian jangan menuduh seperti itu. Mungkin dia hanya kesurupan. Kita lihat saja, mudah-mudahan Mbah Rusdi bisa mengobatinya” sergah Haji Slamet, menyudahi keributan.
Mbah Rusdi duduk bersila menghadap Karmin. Matanya terpejam. Tangan kanannya memegang sebuah gelas yang berisi air putih. Lalu di dekatkannya gelas tersebut pada mulutnya yang tampak komat-kamit baca jampi-jampi.
“Prooot..!”
Air dalam gelas di semburkan ke wajah Karmin setelah terlebih dahulu dikumur-kumur oleh Mbah Rusdi. Tiba-tiba tubuh Karmin menggelinjang. Matanya melotot, napasnya naik turun dan mulutnya meraung. Persis orang kesurupan. Haji Slamet dan beberapa warga memeganginya agar tak berontak. Sementara itu Mbah Rusdi masih sibuk dengan puja-puji. Agaknya benar kalau Karmin kesurupan.
“Huaaa, panas… panas!” Karmin berteriak kepanasan.
“Cepat, keluar! Ayo!” bentak mbah Rusdi, mulutnya tak henti-henti merapal jampi sedang tangannya mencengkeram tangan Karmin untuk menghantarkan energi positif.
“Huaaa, panas… ya, saya akan keluar. Saya akan keluar. Tapi nanti, hahaha..!”
“Kurang ajar!”
“Hahaha… dasar kalian, manusia bodoh! Mau-maunya hidup susah. Jadilah kalian seperti lintah, lihai mencari mangsa yang segar berdarah. Hahaha…”
Begitu merasa dikerjai, Mbah Rusdi semakin kuat mencengkeram dan semakin keras merapal mantra. Karmin semakin kelojotan. Mendesis manis dan berceracau memukau. Sebagian orang-orang yang menyaksikan dibuat penasaran.
“Maksudnya apa, segar berdarah?” timpal Paijo, heran.
“Hahaha… kalian memang goblok! Ya, kalian rampok saja para orang-orang kaya di desa ini. Kalian curi dan hasilnya kalian nikmati sendiri. Kalau mereka melawan, bunuh saja! Kikikik…”
Paijo mengangguk pelan. Sepertinya ia termakan omongan ngelantur Karmin.
 “Hei, Jo. Jangan percaya ocehan sesat Karmin. Dia lagi kesurupan” ujar Haji Slamet. Dia wanti-wanti kalau Paijo benar-benar akan menuruti ajakan Karmin. Maklum, Paijo pemuda pengangguran yang sangat mudah tergoda punya banyak uang secara instan.
“Nggak, Kang! Saya juga tahu mencuri itu dosa” balas Paijo. Matanya mengarah ke Haji Slamet.
Setan apa yang merasuki tubuh Karmin, pikir mereka, hingga susah sekali mengeluarkannya.
Memang baru kali ini Mbah Rusdi merasa agak kesulitan. Biasanya dengan hanya tiga kali baca mantra dan satu semburan saja, setan langsung pergi. Keampuhan mantra yang dimilikinya luar biasa. Karena dulu ada juga orang yang menantang kesaktiannya. Namun  na’as, si penantang tak kuat menahan kekuatannya hingga ia sendiri yang jatuh terkapar. Sekarang, entah setan apa yang  menghalangi kekuatannya. Bersikukuh tak mau keluar dari tubuh Karmin. Di lihat dari igauannya yang sering menyebut seekor lintah kemungkinan besar setan yang merasuki Karmin adalah setan lintah.
“Hai, setan lintah! Cepat keluar! Atau kau mau aku bacakan mantraku yang baru dan dijamin kau bakal sujud minta ampun!” bentak Mbah Rusdi sekali lagi.
“Hahaha… aku tidak takut! Silahkan saja!”
Dengan cukup lama mengingat-ingat kembali memori hapalannya, Mbah Rusdi menunduk tenang. Terpejam. Dua bulan yang lalu ia bermimpi didatangi gurunya dan diajarkan doa Rumeksa ing Wengi. Setelah sebelumnya didahului puasa mutih selama empat puluh hari sebagai syarat mutlak untuk bisa mengamalkannya.
Ana kidung rumeksa ing wengi
teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
…..
“Ada kidung rumeksa ing wengi. Menyebabkan kuat selamat terbebas dari semua penyakit. Terbebas dari segala petaka. Jin dan setan pun tidak mau…”
Mbah Rusdi merapal kidung sambil berdiri memegangi kepala Karmin. Mentransfer energi positif.
“Arrrggghhh! Panas… PANAS!!”
Mbah Rusdi tak bergeming ketika menyaksikan Karmin menjerit kepanasan. Ia terus-menerus membaca doa ampuhnya. Perlahan otot tegang Karmin mulai mengendur. Pundaknya turun dan napasnya lepas. Raungan terhenti. Lalu diam tak sadarkan diri.
Orang-orang yang mengelilingi tampak takjub dengan mantra baru Mbah Rusdi yang terbukti cespleng dan senang melihat Karmin pingsan, sebab setan yang merasuki tubuhnya kini sudah pergi. “Syukurlah Karmin sudah tenang. Biarkan dia istirahat” ucap Mbah Rusdi.
Tumirah yang sedari tadi menangis sesenggukan sekarang mulai berhenti. Para warga pun mulai beranjak pergi. Kini tinggal Tumirah saja yang masih menunggui suaminya siuman.
                                                         ***
Lima tahun kemudian.
Aroma pemilihan kepala desa kembali tercium sengaknya. Tetapi ada yang berbeda dengan pilkades kali ini. Para peserta bakal calon kepala desa tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Dulu, hampir dipastikan ada lima sampai tujuh orang yang maju sebagai calon. Sekarang hanya dua orang saja. Itupun yang satu memang sudah jadi kepala desa yang mencoba mencalonkan diri kembali.
“Kok tumben pilkades di sini minim calon yang mengajukan diri, Pak?” tanya Agus, mahasiswa tingkat akhir jurusan Fisipol yang sedang melakukan penelitian, pada Haji Slamet.
“Ya, gara-gara dulu banyak para calon lurah yang gagal yang kemudian kesurupan. Bahkan ada yang sampai sekarang pun masih belum waras” jelas Haji Slamet.
Lha kok iso, piye tho iki?”
“Begini ceritanya, semenjak ada kejadian Karmin -calon lurah- kesurupan, ternyata perkara kesurupan juga melanda kepada para bekas calon pemilukada yang lainnya. Ada Pak Sodik yang hampir menceburkan diri ke sumur gara-gara kesurupan. Pak Waluyo yang berlari mengitari rumahnya sendiri berkali-kali juga gara-gara kesurupan. Pak Rohim yang ketika kesurupan, hendak membunuh istrinya dengan parang. Dan terakhir Bu Laskmi -satu-satunya calon perempuan- yang kesurupan dan menelanjangi dirinya sendiri di depan para warga. Semuanya berteriak-teriak lintah. Sungguh menggemparkan dan miris melihatnya.
Tetapi yang paling menyedihkan, ya itu tadi si Karmin. Guru ngaji yang miskin dengan dorongan dan hasutan orang-orang, akhirnya mau juga. Ia  masih belum sadar juga sampai sekarang. Sudah modal habis, hutang segepok lalu diusir pula oleh istrinya. Gara-gara gila. Dan anehnya, untuk orang yang menang dalam pemilu, ia biasa saja. Heran. Ini yang menyebabkan warga desa Karangsengon pikir-pikir lagi untuk maju mencalonkan diri. Mereka takut kalah dalam pemilu nanti. Takut kesurupan. Takut gila beneran” terang Haji Slamet panjang lebar.
Agus manggut-manggut mendengarkan.
“Lalu apakah bapak tahu penyebab dari kesurupan bergilir seperti itu?”
“Banyak orang bilang, mereka yang ingin maju mencalonkan diri sebagai kepala desa tidak meminta restu ataupun mendatangi terlebih dahulu makam Eyang Sungkowo, sesepuh desa ini. Akibatnya Eyang Sungkowo marah karena merasa tidak dihormati. Lalu ia kirim suruhannya, setan lintah untuk memberi pelajaran kepada mereka. Sulit dimengerti memang. Bapak juga tidak percaya. Nah, sekarang tugasmu menyelidiki penyebab itu semua dengan ilmu pengetahuan yang kau dapat di perguruan. Piye, Nak?”
Dia berpikir sejenak.
“Wah, kalau urusannya mistis begitu, susah dihubungkan…”
Lha terus opo menurut sampeyan?”
“Apa jangan-jangan begini, Pak. Uang atau harta benda yang mereka gunakan untuk membiayai kampanye dan segala macam sebagian didapat dari pinjaman. Untuk para calon yang bermodal pas-pasan sudah pasti. Bahkan yang calon yang tajir sekalipun ada juga modal pinjaman. Karena pemilu memang menghabiskan dana yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, dana pinjaman itu menjadi beban buat si calon. Mau tidak mau mereka harus mengembalikan. Mereka over optimistis untuk menang dan dengan mudah mengembalikan modal. Tapi kenyataan di lapangan, mereka kalah. Beban hutang, pikiran dan rasa malu yang begitu besar berkecamuk hingga akhirnya depresi. Seringkali.”
Haji Slamet tersenyum. Sepertinya ia pun mengamini apa yang barusan dijelaskan oleh Agus. Perkara kesurupan itu hanya modus si setan lintah ataupun Eyang Sungkowo-nya warga masyarakat agar mereka ingat orang-orang yang sudah meninggal. Ingat perkara akhirat. Orang selamanya tak akan cukup bila ia belum merasakan cungkup. Rumah gubuk sebagai pelindung peristirahatan. Kematian.
_selesai_

Bumiayu, Agustus 2012