Wednesday, March 21, 2012

Cerpen Kelima

HANTU KALIWIRO
lomba cendol secoteng


Dinihari.
“Mbah…!” panggilku. Tak ada jawaban. “Mbah putri!” ulangku.
Sejak hujan sore tadi aku memutuskan untuk tidur di kamar Mbah putri karena hawanya yang dingin. Kini terbangun dan mendapati Mbah putriku-Nyi Narpi, tak ada di kamar. “Pergi kemana dia? Jangan-jangan ke hutan itu lagi” pikirku sambil mengedarkan pandangan. Mengucek mata. Keluar kamar. “Mbah!” teriakku lagi.
Pikiranku melayang ke peristiwa kemarin malam. Ketika aku ikut nimbrung bareng warga yang kebagian jaga pos ronda, mereka membicarakan tentang hantu Kaliwiro.
Hutan pinus di dusun Dempes - Kaliwiro yang tak jauh dari rumah Mbah putri, sekitar 300 meter itu memang tempat paling sering di datangi orang-orang pencari keberkahan (pesugihan tepatnya) ketika malam Jum’at Kliwon, termasuk Mbah putriku juga kata warga yang sering lihat. Dahulu disitu terdapat kuburan masal para korban G30SPKI. Tempat pembantaian puluhan warga sekitar yang di siksa dengan diikat kedua tangan dan kakinya oleh pasukan komunis. Mereka dibiarkan kelaparan begitu saja dan mungkin sengaja dibuat umpan untuk para binatang buas di hutan tersebut. Berhari-hari hingga tubuh mereka melemah lalu mati dililit rasa haus dan lapar yang menjerit.
Saat itu aku terdiam mendengar penuturan cerita warga, tapi aku sedikit masygul. “Lalu apa keistiwewaan tempat tersebut?” tanyaku pada Lik Misno
“Barang siapa yang datang kesitu membawa sesajen berupa makanan; Mie Ongklok, Tempe Kemul dan Wedang Jahe Secoteng, tiba-tiba keluar asap dari atas kuburan tempat diletakannya sesajen. Dan dengan sekejap sesajen itu hilang, berarti doanya terkabul. Nanti ketika orang itu pulang, dalam kamarnya sudah ada setumpuk makanan dan berlembar-lembar rupiah berserakan” jelasnya pasti sambil menyeruput kopi.
“Lho koq bisa? Hanya bermodal sesajen begitu saja bisa menjadi orang kaya raya?” serbuku seakan tak percaya.
“Tapi ya ndak semudah itu, Nak Rizal. Mung wong-wong ‘pilihan’ saja yang bisa melakukannya” Kang Dimin menimpali.
“Pilihan gimana maksudnya?”
“Ya, wong-wong sing nduwe darah keturunan dari para korban termasuk Eyang Ki Sarawangsa. Itupun ndak sembarangan, masih ada syarat liane.”
“Apa lagi syaratnya, Kang?”
“Syaratnya wong iku musti bertapa dulu di Gua Semar selama 40 hari. Jika dia berhasil melewatinya itu menandakan masih keturunan Eyang Ki Sarawangsa dan boleh menaruh sesajen di kuburan masal tersebut” lanjutnya.
“Kalau dia bukan keturunannya, gimana?”
“Bakal celaka! Akan ada dari keluarganya yang meninggal secara mendadak. Karena di hutan tersebut terkenal dengan hantu-hantunya yang kejam. ”
“Oh..!”
Tiba-tiba aku tersadar. Buru-buru ku ayunkan kaki ke sudut ruangan bekas gudang karena hanya ruangan ini yang belum sempat aku periksa. Berharap Mbah putri ada di dalam. Pintu gudang terkunci.
Tok.. tok.. tok!
“Mbah!” Sepi. “Aku dobrak saja apa ya?” gumamku dalam hati.
Braaak! Pintu terbuka. Sesaat hawa dingin menyapa kulitku. Kosong. Gelap, hanya secercah bias lilin yang terjaga. Bau kemenyan menyebar. Di atas lantai keramik beralaskan tikar, tampak nyala merah dupa masih mengepul dan aneka sesajen terjejer rapi.
Aku menangkap tatapan sesuatu yang gelap dari batang-batang kayu yang di senderkan di pojok ruangan. Hatiku berdegub penasaran. Kelihatannya seperti bulatan hitam sebesar kepala berbalut benang-benang kusut.
Ketakutan menyergapku.
Setelah ku kumpulkan keberanian lambat-lambat ku dekati dan ternyata benar, sebuah kepala manusia tertancap di ujung batang kayu. Berwajah susut. Perempuan dewasa. Masih menyisakkan bekas darah dan bau anyir di sekujur batang kayu. “Hoek!”
Lagi-lagi aku menyakinkan diriku sendiri bahwa apa yang ku lihat adalah mimpi. Imajinasi tingkat tinggi. Tapi ketika aku tampar pipiku, terasa sakit.
“Nggak!” gelengku seraya mundur beberapa langkah.
“Aku tidak sedang bermimpi kali ini. Tapi nggak mungkin Mbah putriku seorang pembunuh. Dia Mbah putriku dari pihak Ayah yang masih hidup dan sangat menyayangiku. Buktinya ketika aku kabari akan berlibur ke sini, kedengarannya dia tampak senang sekali. Walaupun memang Ibu menasehatiku untuk selalu hati-hati” pikiranku melayang ke belakang.
Tak berapa lama kemudian dalam situasi mencekam, hordeng jendela tersibak. Angin malam nakal menerpaku dan seisi ruangan. Cahaya lilin sekejap mati. “Bug!” suara batang kayu jatuh. Gelap. “Kreek.. Jedug!” pintu tertutup.
“Hoi, siapa yang menutup pintu?”
“Aku masih di dalam. Tolong buka pintunya!”
“Mbah.. Mbah putri!” teriakku sambil meraba-raba menuju pintu.
Dan tanpa terasa aku berjalan ke arah kepala yang tertancap di batang kayu. Bukan malah menuju ke arah pintu. “Ya Tuhan, mana pintu keluarnya? Perasaan tadi di sini” masih meraba-raba. “Hm, koq lembek? Seperti sebuah daging.”
“Ah, sial! Ini kan kepala perempuan tadi. Hiii..!” umpatku bergidik.
“Aku harus keluar. Ya, aku harus pergi dari sini”
Dalam keadaan tidak bisa melihat, kakiku menginjak benda bulat keras. Aku jongkok. Rasa keingintahuanku menonjok. Setelah tanganku meraba-raba hampir merata, tengkorak manusia. “Ya, nggak salah lagi. Ini tengkorak manusia” aku yakin.
Aku berdiri dan terus terseok-seok mencari pintu keluar, mentok di sebuah jendela. Terkunci. Dengan sangat hati-hati aku membukanya berharap bisa keluar dari dalam gudang. Dan benar jendela terbuka, tanpa pikir panjang aku melompat keluar. Berlari menjauh ke pos ronda.
Di pos ronda.
Ono opo mas Rizal, ngos-ngosan gitu? Koyo di kejar-kejar setan” ledek si Dul.
“Iya ada apa, Nak?” Kang Slamet nimbrung.
“Anu.. di gudang rumah Mbah putri ada kepala manusia!” jawabku terbata.
“Lho yang bener, Mas?”
“Bener, Kang!”
“Wah, jangan-jangan benar kalo Nyi Narpi itu yang sering melakukan tumbal pesugihan” ceplos si Dul. “Buktinya di rumahnya ada kepala manusia, ya tho?”
“Huss.. ngomong opo koe? Sembarangan!” sergah Kang Slamet.
“Coba tenangin dulu. Jangan berpikiran yang negatif, mungkin nak Rizal salah lihat” H. Mansur angkat bicara seraya menyodorkanku segelas air putih. “Di minum dulu.”
Matur nuwun, Pak?”
Inggih!”
Setelah agak tenang, aku menceritakan awal kejadian hingga akhir. Tanggapan mereka ada yang percaya dan tidak. Aku pun demikian. Mereka bercerita tentang hilangnya para gadis di dusun ini. Biasanya para pencari pesugihan yang benar-benar sudah diberi SK oleh para penghuni hutan pinus tersebut, mereka akan di mintai tumbal tiap bulannya. Dan biasanya berbentuk hewan, entah itu kambing, kerbau, sapi, ayam dsb. Tapi baru kali ini mereka mendengar tumbalnya para gadis. Pantesan si Dul ngotot terus.
***
Pagi hari.
Di dapur, Mbah putri sedang sibuk menyiapkan sarapan. Mbah putri adalah tipe perempuan tangguh. Ia kurus, berwajah lembut dan beberapa helai -karena sebagian tertutup penutup kepala- rambutnya yang putih jatuh melayang ringan tak beraturan. Semenjak di tinggal Mbah kakung, ia jadi lebih tegar dan mandiri. Ayahku anak tunggal Mbah satu-satunya meninggal dunia karena kecelakaan mobil bersama Mbah kakung. Kini, ia hanya tinggal sendiri dan sibuk mengurusi lahan perkebunan sayuran seluas 2 hektar peninggalan Mbah kakung dulu. Anehnya, semakin hari semakin bertambah luas perkebunan Mbah putri. Hingga sekarang kalau tidak salah sudah mencapai 10 hektar lebih.
Rasa penasaranku semalam ingin sekali ku utarakan pada Mbah putri. Tentang menghilangnya Mbah putri semalam, tentang sesajen dan kepala manusia yang tertancap di batang kayu di dalam gudang itu serta pintunya yang tiba-tiba terkunci. Dan lagi tentang cerita warga yang menuduh Mbah putri sebagai pelaku pembunuhan para gadis yang dijadikan tumbal pesugihan. Tapi aku takut Mbah putri mengira aku bermimpi. Dan kalaupun ku jelaskan dengan bersumpah-sumpah, mungkin ia akan memarahiku karena rahasianya selama ini terbongkar. “Ah, nanti saja!”
“Pagi, Mbah?” sapaku agak canggung seakan tak terjadi apa-apa semalam.
“Pagi cucuku. Piye istirahate, lali tho?” balasnya menatapku.
Aku mengangguk. Kemudian ia melanjutkan pekerjaan, menggoreng telur. Di atas meja dapur sudah tertata rapi; tempe bacem, sayur brokoli dan tiga ekor ikan gurami. Kelihatannya enak sekali. “Hm.. boleh langsung makan nih, Mbah?”
“Ya boleh tho. Monggo! Biar Mbah nanti saja. Di Jakarta kamu kan terbiasa sarapan pagi?”
“Hm.. tau aja si Mbah. Oh ya, Mbah.. kenapa nggak nyari pembantu aja?”
“Sudah, Nduk. Mbah sudah nyari pembantu-pembantu yang mau bekerja disini. Tapi mereka nggak betah. Baru satu bulan minta keluar. Angker katanya rumah ini. Yowes mending di lakoni dewekan ae. Lagian ndak terlalu berat” jelasnya.
“Angker? Jadi benar dong kalau semalam aku nemuin kepala manusia di gudang” aku membatin. “Apa jangan-jangan bener juga apa yang di tuduhkan warga pada Mbah putri selama ini. Yang menjadikan tumbal para pembantu-pembantu itu. Dengan alasan mereka nggak betah padahal…”
“Nduk, ngelamun ae. Mikirin opo tho?”
“Nggak, Mbah!”
Owalah.. piye to iki?”
Aku membalas dengan senyuman.
Sambil menikmati sarapan aku terus memikirkan hal-hal aneh pada Mbah putri. Dari cara makan, beliau hanya makan ikan gurami kepalanya saja. Sedang tubuhnya di sisakan begitu saja. “Apa ada hubungannya dengan tumbal kepala-kepala itu?” lagi-lagi aku membatin.
“Nduk, kamu jadi berangkat ke Jakarta besok?” tanyanya memecah keheningan.
“Oh.. jadi, Mbah. Soalnya lusa aku harus sudah masuk kerja”
Yowes mulai saiki barang-barangmu diberesno yo. Biar ndak ada yang tertinggal”
“Iya, Mbah!”
***
Tengah hari.
Di dalam kamar mandi, kebiasaanku sebelum mandi mencukur kumis dan jenggot. Saat asik mencukur, tampak di cermin sekelebat bayangan seperti kepala perempuan melintas di belakangku. Begitu aku menengok tidak ada. “Ah, siang-siang begini mana ada setan berkeliaran” pikirku sambil melanjutkan mencukur. Tak berapa lama bayangan hitam itu melintas lagi, aneh.
Aku mencoba tak menghiraukan kejadian barusan. Selesai mengguyur badan, ketika melangkahkan kaki keluar di lubang pembuangan aku melihat tumpukan rambut hitam bercampur putih. Menumpuk. “Lho rambut siapa itu? Aku kan cuma mencukur kumis sama jenggot tipis nggak sebanyak itu. Hiii..!” aku ngibrit keluar.
Sore hari.
Di beranda rumah, “Pokoknya sebelum pergi dari sini aku harus menguak rahasia apa yang sebenarnya di sembunyikan Mbah putri. Ya, aku harus mengetahuinya” hasratku menggebu lalu diam sebentar, meneguk teh. Gudang semalam tempat terdapat sesajen dan kepala manusia musti aku datangi lagi.
Sesampainya di dalam gudang, lagi-lagi rasa aneh mengepungku. Tidak ada bekas kejadian semalam; tikar, sesajen, lilin, batang kayu, kepala perempuan yang tertancap bahkan tengkorak yang terinjak. Yang ada hanya tumpukan besar kardus-kardus bekas di pojok ruangan. Penasaran apa isi kardus itu, aku membukanya perlahan.
“Ya Tuhan.. ini kepala perempuan semalam. Dupa, lilin, tikar, tengkorak dan batang-batang kayu ini. Benar kata warga, Mbah putri pemuja hantu Kaliwiro dan pemasok para gadis yang dijadikan tumbal untuk memperoleh kekayaan” kali ini aku percaya kuadrat.
Malam hari.
Di luar, hujan deras menari. Petir menggelegar dan melalui jendela kamar yang terbuka, aku melihat kilauan kilat di langit. Petir menggelegar lagi lebih keras beberapa detik kemudian. Aku beringsut keluar menemui Mbah putri. Sudah tidak sabar lagi ingin mengetahui langsung kebenaran darinya.
Di ruang tamu.
“Mbah, Rizal boleh nanya sesuatu nggak?”
“Boleh. Nanya opo?”
“Tentang pesugihan. Dalam agama di bolehkan nggak sih?”
Owalah.. ya ndak lah!”
“Terus kalo ada orang yang tetap melakukan hal seperti itu hukumnya apa?”
“Ya, jelas ha haram.. Itu musyrik namanya, Nduk!” jawabnya sedikit gugup.
Aku mengangguk.
“Mbah.. sekarang jujur sama Rizal. Mbah juga nglakuin pesugihan kan? Rizal denger kabar itu dari para warga sini. Iya, Mbah?”
Mendengar kata-kataku tadi Mbah putri terlihat nggak suka. Ia menuding aku telah di pengaruhi mereka. “Nduk, wong sing ngomong koyo kuwi iku wong sing iri sama si Mbah, ngarti?” tegasnya keras.
“Lalu sesajen, dupa, lilin bahkan kepala manusia bekas tumbal si mbah itu apa? Bukankah itu tanda-tanda orang melakukan pesugihan? Bukankah tiap malam Jum’at Kliwon Mbah selalu pergi ke kuburan masal? Menyembah roh Eyang Ki Sarawangsa hanya untuk mendapatkan harta kekayaan?” tanyaku bertubi-tubi.
“Bohong! Semuanya ndak bener. Mana mungkin Mbah ngelakuin itu semua, Nduk.”
“Bohong gimana, Mbah? Wong itu semua sudah terbukti.”
“Tapi dengerin dulu penjelasan si Mbah!”
“Alaaah.. pokoknya Rizal udah nggak percaya lagi sama si Mbah!” potongku seraya pergi meninggalkan Mbah putri. Masuk kamar. “Nduk.. dengerin si Mbah dulu” sayup-sayup suara masih terdengar dari ruang tamu.
Dalam hati, aku kecewa dan sangat tidak percaya kalau ternyata Mbah putriku benar-benar melakukan apa yang dituduhkan warga selama ini. Aku pejamkan mata berharap malam ini tidak terjadi apa-apa. Besok harus jadi pulang ke Jakarta. Aku ingin menceritakan semuanya pada ibu. Langit di luar masih menyisakkan gerimis yang tak kunjung reda. Rasa kantuk tak mau mengetuk. Pikiranku masih terselimut risau. Akhirnya pun aku mengigau.
***
Pagi-pagi sekali.
Anggun embun masih duduk-duduk di pucuk dedaun. Tapi gemuruh teriak para warga di sekitar rumah Mbah putri terdengar mengalun.
“Nyi Narpi gantung diri!” teriak si Dul.
“Woii.. Mbah Narpi mati!” sahut yang lain.
“Mas Rizal.. Mbah mu meninggal!”
“Maaas.. Mas Rizal! Cepat keluar!”
Aku tersadar. Buru-buru ku beranjak keluar menemui suara-suara gaduh itu. Sepertinya di halaman depan, sangat ramai sekali.
“Siapa yang tega membunuh dan menggantungnya di pohon mangga?” tanya Ki Soleh seraya mengusap dada. “Kejam!”
“Siapa lagi kalo bukan roh Eyang Ki Sarawangsa. Mungkin kali ini giliran Nyi Narpi sendiri yang menjadi tumbal” jawab si Dul sok tau.
“Ah, perkara dia mati gantung diri kek, di bunuh penghuni kuburan masal kek, yang penting sekarang kita turunkan jenazahnya dari atas pohon itu. Ayo!” ajak H. Mansur pada para warga yang menyaksikan.
“Duh, Gusti.. maafin dosa-dosa Mbah putri” pintaku dalam hati. Maafkan kami juga yang lalai atas tingkah laku dan perangai yang buruk karena tak mengingatkan mereka yang luput. Jauh dari petunjuk dan kasih sayang-Mu, amien.”
-selesai-

Bumiayu, 30 Januari 2012

Cerpen Keempat


PACARKU JADI TARZAN
lomba cendol galau 21 jiwa


Jakarta, 12 Januari 2012
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat, menilai kerusakan hutan akibat pembalakan hutan secara liar dan perluasan perkebunan sawit di provinsi itu telah menjadi perhatian dunia…
Media massa masih dipenuhi berita-berita pembalakan liar di Indonesia. Dampak dari perluasan perkebunan sawit di Kalbar saat ini sudah dirasakan, di antaranya bencana banjir yang hampir terjadi di seluruh kabupaten/kota yang sebelumnya hanya terjadi di beberapa kawasan rendah saja.
“Kapan beresnya negara ini? Pemimpinnya tidak bertanggung jawab” celoteh lelaki tua yang membaca berita itu di sebuah koran. Dia duduk di sebelahku, di atas kursi pesawat berwarna abu-abu. Kebetulan pesawat yang kita tumpangi menuju Pontianak dan tampak di bawah pepohonan rindang musnah. Berganti ratusan ribu tonggak-tonggak kayu dan ribuan hektar perkebunan sawit.
Bencana terdengar sangat biasa di televisi. Terpampang jelas pada gantungan lapak Koran baru maupun bekas. Setiap hari ada berita tentang gempa, longsor dan banjir diakibatkan perubahan cuaca ekstrim. “Ah, tetap saja semua akibat ulah tangan manusia yang seenaknya mengekploitasi hutan tanpa pikir panjang ke depan” aku membatin.
“Mungkin mereka sibuk menjaga tahta, Pak! Sekalinya melongok bencana, mereka bergaya layaknya Tuan Tanah, lengkap dengan protokoler berjejer” jawabku menanggapi celoteh lelaki tua tadi.
“Haha.. iya, Nak! Betul sekali pendapatmu” ujar lelaki tua itu membenarkan sambil terus tertawa. Mungkin terlihat lucu jawabanku hingga membuatnya terpingkal-pingkal. Aku pun ikut larut dalam tawa.
“Namamu siapa, Nak?”
“Rossi. Kalau bapak?”
“Rusdi. Asalku soko Jogja ke Pontianak mau jenguk cucu bapak yang sedang sakit. Sampeyan?”
“Kulo soko Brebes, Pak! Mau nengokkin pacar, hehe..”
“Hm.. dasar cah enom!”
***
Selang beberapa menit kemudian turun hujan. Deras perlahan. Menyusul petir. Lalu terjadi guncangan dahsyat. Bergetar langit-langit pesawat. Berbenturan antar penumpang. Tiba-tiba alarm peringatan berbunyi. “Neet.. neet.. neet..” bersahutan membahana dalam kabin pesawat.
“Duaaarr..” petir lagi-lagi menyambar.
“Seluruh penumpang diharap tenang! Barusan insiden yang tak diinginkan terjadi, yaitu pesawat kita tersambar petir. Mudah-mudahan bisa ditangani dan tidak terjadi apa-apa. Bapak Ibu semuanya tenang!” jelas salah satu petugas mencoba menenangkan.
“Tenang gimana? Ya Tuhan..” rintih salah satu penumpang.
“Iya, selamatkan kami Tuhan. Aku mohon, hiks.. hiks” timpal yang lain sambil terisak.
“Nak, menunduk! Pegangan sing kuat” teriak pak Rusdi.
“Inggih, Pak!”
“Kita ndak tahu pesawat ini bisa dikendalikan atau tidak. Kemungkinan terbesar kita akan jatuh. Semoga saja kita selamat, Nak!” ucapnya penuh haru.
“Firasatku juga iya, Pak. Tapi kita tetap berdoa mudah-mudahan diselamatkan” aku mengiyakan dengan rasa optimis.
“Braaak!!” koper barang luruh berjatuhan.
“Ya Allah, selamatkan hamba dari malapetaka!” pinta seseorang penuh harap.
“Puji Tuhan, selamatkan kami!”
“Pak Pilot, tolong selamatkan kami semua!”
“Selamatkan kami!”
“Tolooong…”
Mereka berteriak dengan satu komando yang sama. Sedangkan aku dan pak Rusdi masih komat-kamit sedari tadi. Berdzikir. Berharap pesawat yang kita naiki tak jadi terjungkir. Kalau pun terjatuh mudah-mudahan nyawa kita tetap utuh.
“Dugdug.. dugdug..” getaran semakin berdegub.
Dalam suasana mencekam aku terus saja merunduk, membenamkan kepala dalam kedua paha. Benturan badan pesawat dengan pepohonan tampak terasa. Oleng, hampir jatuh. Itu artinya pesawat memang benar-benar akan melandas bebas.”Duh, Gusti..”
“Aaarrgh..“
“Tidaaak..” jerit pasrah orang-orang seketika.
“Gubraaak.. praaak!” dentuman keras memekikan telinga.
Gelap menyergap. Tapi aku masih tersadar. Sontak suasana hening lalu dua menit kemudian rintihan berkecamuk. Aku mencoba bangkit namun sekujur tubuh yang terasa lemas tak membuatku mampu berdiri. Orang-orang yang selamat terlihat berhamburan keluar sedangkan yang tak sadarkan diri-pikirku, pun cukup banyak terburai. “Pak, pak Rusdi!” aku mendekatinya menguncang-guncang tubuhnya, berharap ia segera sadar. Pelipisnya berdarah.
“Bangun, Pak!”
Masih ada denyut nadi. Aku mengangkat tubuhnya keluar pesawat karena ia masih saja tak bergerak. Di luar orang-orang menjerit ketakutan. Menyaksikan sanak saudara mereka yang tertimbun reruntuhan. Miris sekali.
“Tolooong..” rintih seorang ibu yang tak jauh dariku. Setengah badannya tertindih patahan sayap. Aku rebahkan tubuh pak Rusdi. Setengah berlari aku dekati ibu tersebut. “Mas, tolong..”
“Iya, Bu! Sabar ya?” balasku sembari menarik tubuhnya keluar. “Ugh..” nafasku mulai terengah. “Sreeet.. bruk!” aku terhempas ke tanah tapi tak sia-sia aku berhasil menarik tubuhnya. Tak hanya aku yang melakukan tindakan seperti ini, yang lain pun sama, menyelamatkan mereka yang masih terjebak.
Aku tercenung, rasa-rasanya seperti melihat gedung-gedung tanah dengan pernak-pernik yang serba hijau. Ternyata pesawat yang kita tumpangi jatuh di lereng gunung dan lembah basah. Senja hari dengan guyuran hujan dan pemandangan tubuh-tubuh bergelimpangan. Sayat tangis merdu berkicauan. Ada yang hanya menyisakan tangan, sedang tubuhnya tertelan badan pesawat. “Ya Allah.. semoga mereka diterima di sisi-Mu” desahku dalam hati. Lalu aku berputar ke kanan mencari lagi yang masih terjepit. Kaki tanpa kepala, tangan dan badan berjejer dua orang berdampingan. Lagi-lagi tertindih serpihan burung besi tanpa kenal kompromi.
Lima belas menit berlalu keadaan masih mencekam. Pertolongan dari pihak luar belum juga datang. Semua orang yang selamat berkumpul di ujung sebelah kanan, di bawah pohon besar. Pasrah. Dari empat puluh delapan orang yang selamat terhitung dua puluh satu sedangkan sisanya meninggal semuanya. Nggak terbayang rasanya aku melihat puluhan orang terbaring dengan sayatan luka dan olesan darah sudah tak bernyawa. Sebagian hancur. Berserak.
“Pak, bapak sampun sadar?” tanyaku seraya menyapih tubuhnya.
“Nak, ka.. kamu tidak apa-apa?” balasnya terbata.
“Alhamdulilah.. hanya sedikit lecet di pergelangan kaki”
“Syukurlah. Yang lain gimana?”
“Mereka semua meninggal, Pak! Tinggal kita dan beberapa orang saja”
Mendengar berita tersebut, mata Pak Rusdi terpejam lalu membukanya kembali. Mata senja itu kini terpancar bayang-bayang. Berbentuk kaca. Tak sampai mencair. “Aku rasa dia masih kuat menghadapinya” benakku menduga.
***
“Teman-teman, kita harus bertahan dan keluar dari tempat ini” suara laki-laki bertopi memecah kegalauan.
Suaranya yang besar hampir menjangkau semua pendengaran kami. Lalu ia berdiri mengajak kami untuk cepat-cepat keluar. Dia bilang “Percuma saja kita nunggu pertolongan datang. Kita terjebak di jurang hingga radar pun susah melacaknya. Ayo, kita pergi!”
“Tapi bagaimana dengan mereka yang meninggal?” sahut yang lain.
“Iya, apa mereka kita tinggal saja” imbuh seseorang lagi.
“Tidak! Aku tidak akan meninggalkan suamiku di sini sendirian” sergah seorang ibu yang tadi sempat aku tolong. Ternyata suaminya meninggal. Ibu itu terus saja menangis.
“Ya, aku juga tidak mau berpisah dengan anakku. Kasihan dia” kejar seorang bapak.
“Begini saja, untuk sementara kita pergi dulu dari sini. Kita keluar mencari pertolongan. Setelah tim BASARNAS tahu peristiwa kecelakaan ini, mereka pasti akan mengangkut jenazah saudara kita ini yang sudah meninggal” ujar lelaki bertopi itu menyakinkan.
“Setuju! Daripada kita terus-terusan terjebak di sini lebih baik pergi”
“Tunggu dulu!”
Cegah pak Rusdi tiba-tiba. Dia memerintahkan kami untuk mengecek kembali sinyal di handphone yang masih hidup. Barangkali sudah ada dan bisa langsung minta bantuan dari luar. “Kalau itu bisa, kita tinggal menunggu saja di sini” lanjutnya. Tanpa pikir panjang mereka pun mencoba lagi menghubungi sanak saudara di luar. Tapi tak bisa, jaringan tidak ada. Aku nekad memanjat pohon beberapa meter tingginya demi mendapatkan jaringan sinyal. Nihil.
“Sudahlah, tak mungkin ada sinyal di sini. Ayo kita pergi saja!” ajak lelaki bertopi itu. Pesimis menunggu datangnya bantuan.
“Bagaimana nanti kalau tubuh mereka di makan binatang buas?” seru seorang pemuda seumuran denganku.
Kami terdiam, bergeming.
“Benar juga. Lebih baik kita bagi tugas saja. Beberapa orang berjaga di sini yang lain pergi keluar mencari bantuan” pak Rusdi membenarkan.
“Oke.. aku yang pergi keluar. Bagi yang ingin pergi, ikutlah denganku” tawar pak Dodi. Ya, lelaki bertopi itu bernama pak Dodi.
“Nak Rossi, sampeyan ikut saja dengan pak Dodi. Biar bapak saja yang di sini”
“Tapi pak..”
“Uwis ra popo. Pergi sana!”
Namun malam mulai beringsut. Akhirnya rencana kepergian ditunda besok pagi. Situasi malam kian kelam. Dalam keadaan gelisah, sedih membuncah serta luka meradang menjamah. Kami duduk terpekur mengitari api unggun. Berharap hantaran panasnya menghangatkan rasa gigil dan takut kami. Menunggu keajaiban pagi datang. Tak ada lagi suara tangis pecah sebab sore tadi sudah terlalu banyak yang ditumpah. Hanya sisa-sisa lelehan yang masih membekas.
“Ya Allah.. semoga aku tetap kuat menghadapi ujian-Mu”
“Fan.. aku harap kamu tidak mencemaskanku. Doakan agar aku dan orang-orang yang masih di sini pulang dengan selamat” pintaku sembari menguatkan hati. “Aku akan menikahimu kalau nanti aku pulang selamat dan berjumpa denganmu. Percayalah..” lagi-lagi gumamku dalam hati.
Aku menarik napas. Bagaimanapun aku harus tetap hidup dan menjalani hidup bersama kekasihku, Fanny. Aku tak boleh menyerah begitu saja. Kerinduan ini sudah pecah. Seperti air mata orang-orang yang di tinggal pergi belahan hati. Tanpa permisi.
Untung perbekalan makanan masih ada. Cukup untuk mengganjal perut kami malam ini walaupun seadanya. “Hai, ada yang belum kebagian jatah makanan?” cetus pak Dodi.
“Kayaknya semuanya sudah” jawabku.
“Teman-teman, walaupun hanya sehelai roti, makanlah! Mudah-mudahan ini sebagai modal tenaga yang akan menyemangati kita bertahan hidup dalam situasi seperti ini” imbuhnya optimis.
“Ya, benar. Bertahanlah kawan!” bisik yang lain.
***
Pagi hari di seberang kota. Pemukiman warga. Dalam sebuah kamar, seorang gadis manis terbangun gara-gara bermimpi buruk. “Pacar saya hilang di tengah hutan! Tapi ternyata itu cuma mimpi. Huft.. untung mimpi, coba kalo beneran, bakal jadi Tarzan dia!” dia berkata pada dirinya sendiri. Ada resah terpancar dalam dirinya. Ibarat embun, resah itu bergelantung di pucuk hatinya.
Tanpa pikir panjang, Fanny, gadis itu meraih handphone miliknya di atas meja. Dia pencat-pencet nomor kekasihnya. Tidak aktif. Gusar semakin menertawakannya.
Tuhan, semoga mimpiku barusan tidak menjadi kenyataan
Aku sayang sama dia
Aku gak mau dia hilang di hutan
Gak mau lihat dia jadi Tarzan beneran
Gak mau lihat dia pakai kolor doang
Gak mau lihat dia ngomong sendiri sama binatang
Gak mau lihat dia selingkuh sama macan betina
Gak mau lihat dia jumpalitan dari pohon ke pohon sambil teriak "AUWOOO!!!"
Semoga ini semua benar-benar hanya mimpi
Amin..
-selesai-

Bumiayu, 15 Februari 2012

Flash Fiction Pertama


BUNGA VALENTINE
antologi es campur

April datang tiba-tiba. Berbisik ia pada sobatnya Fanny, lantas duduk di sebelahnya. Tak lama kemudian ia berdiri, memetik mawar di vas bunga depannya. Tampak ia memain-mainkan bunga itu ditangan.
“Eh, kasih ucapan Valentine’s day buat Rossi, pakai bunga ini” saran Fanny.
“Hmm, pengen sih. Tapi bukannya cowok yang biasanya ngucapin duluan?” sergah April.
“Iya, masalahnya kamu kan belum jadian sama dia. Makanya ini kesempatan buat ngungkapin perasaan loe, gimana? Sekarang udah zamannya cewek yang nembak duluan, ayo!” bujuk Fanny semakin keras.
“Tapi.. aku malu Fan!”
“April! Kamu cinta kan sama Rossi?”
“Iya, Fan. Aku sayang banget tapi..”
”Udaaah, samperin sono!”
***
“Rossi, boleh aku bicara sebentar?” pinta April malu-malu.
“Boleh ngomong aja!” jawabnya datar.
April terlihat gugup. Tersekat mulutnya seakan menelan daging marmut yang tak dikunyah.
“Ayo katanya mo ngomong. Ngomong apa?”
“E.. anu, aku mo ngasih bunga mawar ini untukmu” ucap April tergagap seraya menyodorkan bunga.
“Oo.. bunga, makasih ya?” balas Rossi sambil meraih bunga.
April mengangguk. Dia belum juga ngungkapin perasaannya pada Rossi. Beban malu masih menindihnya. Sesaat ia teringat kata-kata Fanny “Gak usah malu, ungkapin aja perasaan loe!”.
“Ada satu lagi yang ingin ku katakan padamu”
“Apa lagi?”
Gubraaak! April buru-buru pingsan. Ia belum sempat mengungkapkan perasaan.
***

Bumiayu, 18 November 2011

Cerpen Ketiga

REMANG-REMANG RESAH
lomba cendol centura


Getar suara membahana memenuhi alam jagat jiwa. Gelegar getar dari asal bus yang kutumpangi, ditambah nyanyian tembang lawas era 80-an yang dikumandangkan dan gemetar perasaan cinta terburai dalam dada. Sungguh, kepulangan yang meresahkan.
Rasa itu telah aku tambatkan pada seorang gadis yang baru saja kukenal, peserta seminar bernama Kilan. Gadis asal Majalengka yang menyerahkan seluruh hidupnya hanya untuk belajar. Menjadi santriwati di sebuah Ponpes di Cirebon plus menjadi mahasiswi semester lima Fakultas Tarbiyah ini bercita-cita menjadi guru agama multi talenta, yang tidak hanya menguasai ilmu agama saja tapi juga ilmu-ilmu modern lainnya. Kalau tidak salah begitu ia menjelaskannya padaku. Pokoknya guru agama yang keren abis, berwajah manis dan penuh romantis.
Aku sibakkan handphone-ku lalu kubuka kembali pesan yang beberapa jam sebelumnya aku kirim ke dia. Dari sekian banyak pesan yang masuk, satu pesan tampak mengeryitkan keningku.
Iya.. bakal kangen banget atuh!
Sesaat aku tersenyum lebar. Persis seperti kerupuk yang baru digoreng diatas tungku panas, lebar membesar. Atau mungkin seperti bunga yang kebanyakkan merekah dipagi hari. Setelah dicumbui embun dan disusui matahari. Ah, aku pun ingat balasan kata-kataku saat itu.
Hmm, beneran?
Beneran dong masa bohong! Balasnya.
Padahal sebelumnya aku tidak menyangka akan bertemu dengan dia. Sungguh, suatu nikmat yang tak terpermanai. Awal pertemuan yang menurutku terbilang sangat kebetulan. Tapi sungguh tidak ada di dunia ini peristiwa kebetulan. Semua sudah dilayarkan takdir dari balik tabir yang mendetak kemudian sampai pada kita muaranya.
Acara seminar Workshop penulisan yang diadakan segelintir orang-orang yang mengatasnamakan pecinta sastra fiksi. Bertekad memasyarakatkan sastra dan mensastrakan masyarakat. Ya, aku pun ikut larut di dalamnya. Mendatangi setiap acara-acara yang diselenggerakan mereka, terlebih di Cirebon kemarin. Sebab itu merupakan awal pertemuanku dengannya.
***
Petala langit terlihat tampak murung, tiba-tiba saja. Mungkin di musim pancaroba seperti ini memang hal lumrah cuaca panas mendadak dirundung mendung. Angin kencang bermuatan butiran-butiran air menerjang bus yang kutumpangi. Perlahan garis-garis jernih terlihat berjatuhan di sebelah timur bebukit kemudian merambat ke barat. Terdengar berisik gemericik berbisik pada langit-langit. Setelah kurang lebih setengah jam, juga secara tiba-tiba hujan berhenti. Dari arah timur diatas bebukit basah muncul warna-warni bergradasi. Makhluk Tuhan yang seringkali dinyanyikan anak-anak dengan riang gembiranya, berjingkrakan dan bertepuk tangan. Aku pun terpekur meresapi.
“Lihatlah, Nak!?” Lelaki tua yang duduk bersebelahan denganku menyibak kain hordeng. “Itu adalah bukti kuasa Gusti Allah yang ada di muka bumi” Ia menunjuk gradasi pelangi di atas bukit.”Tapi orang-orang masih saja menyekutukan kuasa-Nya.”
Aku sudah tahu sebelum lelaki tua itu menyuruhku melihat pesta pelangi. Namun aku tak mau menyakiti perasaannya. Aku mendongakkan kepala menuju ke arah yang ditunjukkan lelaki tua itu. “Subhanallah, maha kuasa Gusti Allah!” ucapku penuh takjub.
Sebelumnya ia menanyakan namaku, dari mana dan mau kemana. Iman, dari Bumiayu. Kebetulan aku habis menghadiri acara seminar penulisan dan sekarang mau pulang lagi ke rumah. Begitu jawabku pada lelaki tua itu. Tanpa nama. Sebab aku tak berani menanyakan namanya. Cuma sekedar alamat, katanya dia orang Cirebon dan mau pergi ke Pekalongan.
Sinar senja menamparku dari balik jendela. Menyentuh dengan penuh lembut bulu mata hingga aku pun terbangun dari kantuk. Aku lihat lelaki tua itu masih men-tadabburi sisa-sisa pelangi. Ingin ku tanyakan sesuatu tentang pengalaman hidup padanya tapi nyaliku menciut. Aku tak berani. Apa karena aku tak bisa bahasa kromo dan takut dibilang tidak sopan berbicara pada orang tua? Atau karena memang dari dulu aku orang yang tertutup sampai menyapa orang asing pun aku luput? Batinku berkecamuk.
Remang-remang sinar lampune madangi
Kadang keton lintang wis ora perduli
Kula seneng waktu deweke njanjeni
Wong ganteng aja gawe lara ati
….
Remang-remang sepanjang jalan pantura
Gadis manis pada midang pinggir dalan
Jare seneng bisa bantui wong tua
Kadang nangis urip mengkenen sampai kapan
Lagu dangdut pantura atau lebih dikenal dengan sebutan Tarling Pantura, mengalun mesra menemani surut senja. “Nak, apakah kamu tahu makna lagu Remang-remang itu?” tanya lelaki tua itu menatapku. Waduh, walaupun bahasanya sama dengan bahasa yang ku gunakan, Jawa Pantura tapi tetap saja aku nggak tahu. “Nggak, pak!” jawabku gugup. Ia tersenyum melihat tingkahku.
“Lagu ini menceritakan tentang kisah perjuangan perempuan yang berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya yang keras. Berusaha untuk memenuhi segala kehidupannya terhadap cinta dan harta. Cinta akan kasih sayang terhadap orang yang disayanginya, dan harta demi kebutuhan hidupnya.” jelasnya pelan sambil merogoh saku baju, mengambil bungkusan rokok kretek. Lalu ia menawariku namun aku menolak secara halus.
Kepulan asap menyembul dari mulutnya. Bara rokok terlihat merah menyala ketika mulut kering lelaki tua itu menghisapnya, seperti mata iblis yang penuh dendam terhadap manusia. Posisi duduk kami yang memang berada paling dibelakang mungkin menguntungkan. Asap rokok tak mengganggu orang lain sebab begitu mengepul angin kencang laju kendaraan langsung menariknya ke udara.
Cekikikan seorang wanita muda bersama sopir bus dan kondekturnya menelusup ke telinga. Gurauan manja si wanita membuatku tak tahan dan merasa risih ditambah sentuhan tangan si sopir yang mencolek pipi si wanita kemudian menyekapnya. Uh, dasar tak tahu malu! Sah-sah saja mereka bertingkah seperti itu tapi mbok yo jangan ditempat umum apalagi diatas bus yang sedang dikendarainya. Apa tidak takut nabrak nanti gara-gara tidak konsentrasi. Jangkrik! Umpatku dalam hati.
Tiba-tiba aku ingat penjelasan lelaki tua disampingku tentang lagu remang-remang tadi. Tentang perjuangan kebanyakan perempuan terutama di daerah pantura ini, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang keras itu. “Pak, bapak lihat wanita di depan bareng sopir itu?” tanyaku tanpa rasa takut sambil menunjuk arah depan. “Ya, bapak lihat dan tahu siapa wanita itu. Itu sudah hal biasa, Nak!” jawabnya mantap.
“Tapi…”
“Tapi apa?”
“Bukankah itu tidak sopan, bermesraan di depan umum apalagi dengan wanita bukan muhrim” tanyaku lagi dengan sok mengerti hukum islami.
“Itu wanita penghibur, Nak! Lha kan sudah jadi profesinya, menghibur setiap laki-laki yang diinginkannya. Itu salah satu contoh kehidupan wong cilik yang rela melakukan apa saja asalkan bisa membahagiakan keluarganya” terangnya.
“Iya, tapi apa harus melacur diri seperti itu?”
“Nak, hidup itu pilihan. Mereka mau memilih jalan yang baik ataupun buruk itu sudah menjadi hak mereka. Memang dalam islam jelas dilarang. Gusti Allah mengutuk keras orang-orang yang berbuat zina. Dan hidayah Allah itu tidak bisa kita datangkan lalu kita berikan terang-terangan pada mereka. Kadang mereka tak menghiraukan malah mencemooh ajakan kebaikan kita. Itu sudah urusan Tuhan. Kita sekedar mendoakan semoga mereka diberi kesadaran” jelasnya panjang lebar. Aku mengangguk pelan.
“Apa itu yang dimaksud dari makna lagu remang-remang?”
“Ya, begitulah..”
“Uang, uang seringkali membutakan banyak orang”
“Bukan hanya uang, Nak! Jabatan, popularitas dan setumpuk kepentingan juga ikut bermain-main di dalamnya” tambahnya.
***
Semangat pagi, Kakak..
Isi sms yang kubaca dari Kilan. Hm, baru jam empat sudah nyemangatin begitu. Maklum dia kan santri mungkin habis sholat malam, semangat pagi-nya masih meletup-letup hingga sisanya ia tularkan padaku. Batinku menduga-duga seraya kedua bibirku tertarik kebelakang. Tersenyum kecil. Padahal rasa malas untuk bangun masih menyerang karena badan masih pegal-pegal habis pulang acara kemarin. Tapi buru-buru aku balas sms-nya.
Semangat pagi juga, Adek.. :D
Ayo bangun, Kak! Ambil wudlu sekarang!
Iih, dasar nih anak! Tau aja orang lagi malas-malasan bangun. Dengan langkah gontai kuturuti saja ajakan dia walau dengan sangat terpaksa. Kenapa kok tiba-tiba aku mau saja menuruti keinginannya? Ajakannya ibarat candu yang memabukkan, apa ini yang dinamakan setia terhadap pasangan? Hey, dia belum resmi jadi pasanganku. Ah, biarlah nanti hati nurani yang memelukku. Sekarang aku tak mau berspekulasi lebih dalam lagi. Huuft!
Beberapa hari kemudian ada kabar tidak enak dari bapak ibunya di rumah. Ia di suruh pulang sebentar. Rani, adik perempuannya yang masih duduk dibangku SMP terlihat sering keluyuran bareng temen-temen cewe satu kelasnya. Kalau sekali dua kali mungkin tidak apa-apa, tapi ini hampir setiap malam hari ia selalu pergi. Ini tak baik bagi pandangan sebagian orang. Adiknya yang satu ini memang terlihat agak bandel dan sangat berbeda dengan kakaknya. Ia sudah seringkali dinasehati bapak ibunya agar tak ikut-ikutan temannya. Mungkin karena ia masih labil terus belum dimasukkan ke pesantren, jadi tingkahnya masih ikut pergaulan anak-anak seusianya.
“Iya, Kak! Besok aku pulang dulu ke rumah” ucapnya via telepon
“Oh.. ya sudah, hati-hati, Dek!” timpalku
“He’eh.. makasih, Kak?”
“Yup! Jangan lupa, kalau sudah nyampe rumah salamin buat bapak ibumu, ya? Terus jangan pakai bentak-bentak segala pas nasehatin adekmu, oke?” pesanku sedikit memaksa.
“Iyaaa.. sudah ya? Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam..”
Belum lama aku berkata-kata dengan Kilan via telepon, Anisa -sepupuku- ia masuk ke kamar mendekatiku dan berkata, “Mas, ngerti bli? Si Fitri anaknya Pak Dul itu lho.. dia kemarin tertangkap warga sedang berduaan dikamar bareng si Joni. Walaupun belum sampai berbuat yang lebih macam-macam yang jelas itu sudah bikin malu para warga disini.”
“A.. apa, Nis?” aku tergagap tersadar dari pikiranku yang tak menentu.
Moso iyo tho, Nis? Bukannya Fitri itu anak pesantren? Mana mungkin ia begajulan seperti itu?” tanyaku seakan tak percaya.
“Iyalah.. Anak pesantren sekarang belum menjamin akhlaknya benar kalau pergaulannya masih ngikut temennya yang begajulan. Nisa juga kadang sering tergoda pengin ikut-ikutan gaya mereka yang katanya gaul abis tapii.. aku nggak lah..” sedikit terbata.
“Wah, hebat sepupuku yang satu ini, pintar jaga diri!
“Ah, mas bisa bae
“Tapi beneran loh, banyak ABG zaman sekarang yang terbawa arus modernisasi dan bertingkah terlalu berlebihan. Adiknya temenku juga sama, sering keluyuran malam. Mending niatnya untuk belajar kelompok atau ngerjain sesuatu yang bermanfaat, kebanyakan malah kumpul-kumpul sekedar nyari pasangan untuk dijadiin pacar saja. Makanya sekarang kamu lebih berhati-hati dalam bergaul.” gayaku sedikit berceramah.
“Oke, bos! Oh ya, katanya mas ada hati sama Fitri, hayo ngaku?” terka Anisa seraya mencubit lenganku.
“Itu kan dulu, Nis. Makanya sekarang nggak perhatian kayak dulu lagi”
“Hmm, emang sekarang lagi deketin siapa lagi? Kasih tau Nisa dong?”
“Ada dech.. ” jawabku sambil berlalu keluar kamar.
“Huh, dasar! Ditanyain malah nyelonong pergi” omel Anisa
Haha.. emang enak dicuekkin?” balasku sambil menutup pintu. Braaak!
***
Selang beberapa hari kabar buruk lagi-lagi tersiar dan mendegupkan jantungku. Ternyata sepupuku yang katanya pintar jaga diri malah terdengar kabar ia ketahuan warga sedang dalam keadaan setengah telanjang bersama pacarnya di kamar setelah pintunya di dobrak warga. Sebelumnya warga sudah mencium gerak-gerik kecurigaan ketika melihat ada seorang pemuda masuk ke rumah Anisa namun melebihi jam dua belas malam belum juga keluar. Kebetulan rumahnya sepi karena bapak ibunya lagi nengokin mbahnya yang sakit.
“Ya Allah.. Cobaan apalagi yang menimpa kampungku. Apalagi kali ini menimpa keluarga dekatku” protesku dalam hati.
“Inikah yang disebut kuasa takdir-Mu? Tapi bukankah setiap perbuatan yang dilakukan juga berdasarkan akal pikiran dan kehendak mereka? Sudah sedemikian bejatkah moral kami para orang tua yang lalai terhadap anak-anaknya? Padahal tiap waktu doa-doa kebaikan selalu kita panjatkan. Agar kelak dalam menjalani hidup tak ada kejadian buruk yang tak diinginkan” protesku masih dalam hati. “Astagfirullah..” ucapku tersadar.
Aku cepat-cepat berlari ke rumah Anisa. Tampak banyak warga masih berkerumunan di sekitar rumah. Kemudian ku dapati Anisa dan temen lelakinya sedang diapit warga. Keduanya tertunduk malu. Warga sepakat untuk mengkawinkan paksa keduanya yang telah terbukti melakukan perbuatan zina.
“Pokoe mereka kudu dinikahkan” ujar seorang warga.
“Iya, mereka sudah terbukti bersalah” sahut yang lain.
“Kita seret saja ramai-ramai ke KUA biar tau rasa!” imbuh yang lain penuh emosi.
“Tenang.. tenang.. bapak-bapak ibu-ibu saudara-saudara, harap tenang! Masalah ini kita selesaikan dengan musyawarah” jelas Pak RT menengahi.
“Tapi ini sudah kelewatan, Pak? Kalau dibiarkan mereka akan keterusan dan satu-satunya jalan ya keduanya harus dinikahkan”
“Iya, besok kita adakan musyawarah saja di rumah Pak RT. Kita bahas masalah ini lebih dalam lagi sambil menunggu kedatangan kedua orang tua mereka yang katanya besok bersedia berkumpul bersama” usulku tiba-tiba.
“Ya sudah.. Bapak ibu saudara sekalian, besok kita bermusyawarah di rumahku. Jangan lupa hadir terutama para saksi mata yang melihat langsung kejadian ini” terang Pak RT.
Mendengar penjelasan dari Pak RT tentang masalah ini, lalu para warga mengiyakan. Mereka janji besok akan hadir bermusyawarah. Dan lagi-lagi aku terpekur. Memandangi wajah sendu Anisa dan merenungi peristiwa yang sedang menimpa keluarga kita. 

-selesai-

Bumiayu, 02 September 2011