Wednesday, March 21, 2012

Cerpen Keempat


PACARKU JADI TARZAN
lomba cendol galau 21 jiwa


Jakarta, 12 Januari 2012
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat, menilai kerusakan hutan akibat pembalakan hutan secara liar dan perluasan perkebunan sawit di provinsi itu telah menjadi perhatian dunia…
Media massa masih dipenuhi berita-berita pembalakan liar di Indonesia. Dampak dari perluasan perkebunan sawit di Kalbar saat ini sudah dirasakan, di antaranya bencana banjir yang hampir terjadi di seluruh kabupaten/kota yang sebelumnya hanya terjadi di beberapa kawasan rendah saja.
“Kapan beresnya negara ini? Pemimpinnya tidak bertanggung jawab” celoteh lelaki tua yang membaca berita itu di sebuah koran. Dia duduk di sebelahku, di atas kursi pesawat berwarna abu-abu. Kebetulan pesawat yang kita tumpangi menuju Pontianak dan tampak di bawah pepohonan rindang musnah. Berganti ratusan ribu tonggak-tonggak kayu dan ribuan hektar perkebunan sawit.
Bencana terdengar sangat biasa di televisi. Terpampang jelas pada gantungan lapak Koran baru maupun bekas. Setiap hari ada berita tentang gempa, longsor dan banjir diakibatkan perubahan cuaca ekstrim. “Ah, tetap saja semua akibat ulah tangan manusia yang seenaknya mengekploitasi hutan tanpa pikir panjang ke depan” aku membatin.
“Mungkin mereka sibuk menjaga tahta, Pak! Sekalinya melongok bencana, mereka bergaya layaknya Tuan Tanah, lengkap dengan protokoler berjejer” jawabku menanggapi celoteh lelaki tua tadi.
“Haha.. iya, Nak! Betul sekali pendapatmu” ujar lelaki tua itu membenarkan sambil terus tertawa. Mungkin terlihat lucu jawabanku hingga membuatnya terpingkal-pingkal. Aku pun ikut larut dalam tawa.
“Namamu siapa, Nak?”
“Rossi. Kalau bapak?”
“Rusdi. Asalku soko Jogja ke Pontianak mau jenguk cucu bapak yang sedang sakit. Sampeyan?”
“Kulo soko Brebes, Pak! Mau nengokkin pacar, hehe..”
“Hm.. dasar cah enom!”
***
Selang beberapa menit kemudian turun hujan. Deras perlahan. Menyusul petir. Lalu terjadi guncangan dahsyat. Bergetar langit-langit pesawat. Berbenturan antar penumpang. Tiba-tiba alarm peringatan berbunyi. “Neet.. neet.. neet..” bersahutan membahana dalam kabin pesawat.
“Duaaarr..” petir lagi-lagi menyambar.
“Seluruh penumpang diharap tenang! Barusan insiden yang tak diinginkan terjadi, yaitu pesawat kita tersambar petir. Mudah-mudahan bisa ditangani dan tidak terjadi apa-apa. Bapak Ibu semuanya tenang!” jelas salah satu petugas mencoba menenangkan.
“Tenang gimana? Ya Tuhan..” rintih salah satu penumpang.
“Iya, selamatkan kami Tuhan. Aku mohon, hiks.. hiks” timpal yang lain sambil terisak.
“Nak, menunduk! Pegangan sing kuat” teriak pak Rusdi.
“Inggih, Pak!”
“Kita ndak tahu pesawat ini bisa dikendalikan atau tidak. Kemungkinan terbesar kita akan jatuh. Semoga saja kita selamat, Nak!” ucapnya penuh haru.
“Firasatku juga iya, Pak. Tapi kita tetap berdoa mudah-mudahan diselamatkan” aku mengiyakan dengan rasa optimis.
“Braaak!!” koper barang luruh berjatuhan.
“Ya Allah, selamatkan hamba dari malapetaka!” pinta seseorang penuh harap.
“Puji Tuhan, selamatkan kami!”
“Pak Pilot, tolong selamatkan kami semua!”
“Selamatkan kami!”
“Tolooong…”
Mereka berteriak dengan satu komando yang sama. Sedangkan aku dan pak Rusdi masih komat-kamit sedari tadi. Berdzikir. Berharap pesawat yang kita naiki tak jadi terjungkir. Kalau pun terjatuh mudah-mudahan nyawa kita tetap utuh.
“Dugdug.. dugdug..” getaran semakin berdegub.
Dalam suasana mencekam aku terus saja merunduk, membenamkan kepala dalam kedua paha. Benturan badan pesawat dengan pepohonan tampak terasa. Oleng, hampir jatuh. Itu artinya pesawat memang benar-benar akan melandas bebas.”Duh, Gusti..”
“Aaarrgh..“
“Tidaaak..” jerit pasrah orang-orang seketika.
“Gubraaak.. praaak!” dentuman keras memekikan telinga.
Gelap menyergap. Tapi aku masih tersadar. Sontak suasana hening lalu dua menit kemudian rintihan berkecamuk. Aku mencoba bangkit namun sekujur tubuh yang terasa lemas tak membuatku mampu berdiri. Orang-orang yang selamat terlihat berhamburan keluar sedangkan yang tak sadarkan diri-pikirku, pun cukup banyak terburai. “Pak, pak Rusdi!” aku mendekatinya menguncang-guncang tubuhnya, berharap ia segera sadar. Pelipisnya berdarah.
“Bangun, Pak!”
Masih ada denyut nadi. Aku mengangkat tubuhnya keluar pesawat karena ia masih saja tak bergerak. Di luar orang-orang menjerit ketakutan. Menyaksikan sanak saudara mereka yang tertimbun reruntuhan. Miris sekali.
“Tolooong..” rintih seorang ibu yang tak jauh dariku. Setengah badannya tertindih patahan sayap. Aku rebahkan tubuh pak Rusdi. Setengah berlari aku dekati ibu tersebut. “Mas, tolong..”
“Iya, Bu! Sabar ya?” balasku sembari menarik tubuhnya keluar. “Ugh..” nafasku mulai terengah. “Sreeet.. bruk!” aku terhempas ke tanah tapi tak sia-sia aku berhasil menarik tubuhnya. Tak hanya aku yang melakukan tindakan seperti ini, yang lain pun sama, menyelamatkan mereka yang masih terjebak.
Aku tercenung, rasa-rasanya seperti melihat gedung-gedung tanah dengan pernak-pernik yang serba hijau. Ternyata pesawat yang kita tumpangi jatuh di lereng gunung dan lembah basah. Senja hari dengan guyuran hujan dan pemandangan tubuh-tubuh bergelimpangan. Sayat tangis merdu berkicauan. Ada yang hanya menyisakan tangan, sedang tubuhnya tertelan badan pesawat. “Ya Allah.. semoga mereka diterima di sisi-Mu” desahku dalam hati. Lalu aku berputar ke kanan mencari lagi yang masih terjepit. Kaki tanpa kepala, tangan dan badan berjejer dua orang berdampingan. Lagi-lagi tertindih serpihan burung besi tanpa kenal kompromi.
Lima belas menit berlalu keadaan masih mencekam. Pertolongan dari pihak luar belum juga datang. Semua orang yang selamat berkumpul di ujung sebelah kanan, di bawah pohon besar. Pasrah. Dari empat puluh delapan orang yang selamat terhitung dua puluh satu sedangkan sisanya meninggal semuanya. Nggak terbayang rasanya aku melihat puluhan orang terbaring dengan sayatan luka dan olesan darah sudah tak bernyawa. Sebagian hancur. Berserak.
“Pak, bapak sampun sadar?” tanyaku seraya menyapih tubuhnya.
“Nak, ka.. kamu tidak apa-apa?” balasnya terbata.
“Alhamdulilah.. hanya sedikit lecet di pergelangan kaki”
“Syukurlah. Yang lain gimana?”
“Mereka semua meninggal, Pak! Tinggal kita dan beberapa orang saja”
Mendengar berita tersebut, mata Pak Rusdi terpejam lalu membukanya kembali. Mata senja itu kini terpancar bayang-bayang. Berbentuk kaca. Tak sampai mencair. “Aku rasa dia masih kuat menghadapinya” benakku menduga.
***
“Teman-teman, kita harus bertahan dan keluar dari tempat ini” suara laki-laki bertopi memecah kegalauan.
Suaranya yang besar hampir menjangkau semua pendengaran kami. Lalu ia berdiri mengajak kami untuk cepat-cepat keluar. Dia bilang “Percuma saja kita nunggu pertolongan datang. Kita terjebak di jurang hingga radar pun susah melacaknya. Ayo, kita pergi!”
“Tapi bagaimana dengan mereka yang meninggal?” sahut yang lain.
“Iya, apa mereka kita tinggal saja” imbuh seseorang lagi.
“Tidak! Aku tidak akan meninggalkan suamiku di sini sendirian” sergah seorang ibu yang tadi sempat aku tolong. Ternyata suaminya meninggal. Ibu itu terus saja menangis.
“Ya, aku juga tidak mau berpisah dengan anakku. Kasihan dia” kejar seorang bapak.
“Begini saja, untuk sementara kita pergi dulu dari sini. Kita keluar mencari pertolongan. Setelah tim BASARNAS tahu peristiwa kecelakaan ini, mereka pasti akan mengangkut jenazah saudara kita ini yang sudah meninggal” ujar lelaki bertopi itu menyakinkan.
“Setuju! Daripada kita terus-terusan terjebak di sini lebih baik pergi”
“Tunggu dulu!”
Cegah pak Rusdi tiba-tiba. Dia memerintahkan kami untuk mengecek kembali sinyal di handphone yang masih hidup. Barangkali sudah ada dan bisa langsung minta bantuan dari luar. “Kalau itu bisa, kita tinggal menunggu saja di sini” lanjutnya. Tanpa pikir panjang mereka pun mencoba lagi menghubungi sanak saudara di luar. Tapi tak bisa, jaringan tidak ada. Aku nekad memanjat pohon beberapa meter tingginya demi mendapatkan jaringan sinyal. Nihil.
“Sudahlah, tak mungkin ada sinyal di sini. Ayo kita pergi saja!” ajak lelaki bertopi itu. Pesimis menunggu datangnya bantuan.
“Bagaimana nanti kalau tubuh mereka di makan binatang buas?” seru seorang pemuda seumuran denganku.
Kami terdiam, bergeming.
“Benar juga. Lebih baik kita bagi tugas saja. Beberapa orang berjaga di sini yang lain pergi keluar mencari bantuan” pak Rusdi membenarkan.
“Oke.. aku yang pergi keluar. Bagi yang ingin pergi, ikutlah denganku” tawar pak Dodi. Ya, lelaki bertopi itu bernama pak Dodi.
“Nak Rossi, sampeyan ikut saja dengan pak Dodi. Biar bapak saja yang di sini”
“Tapi pak..”
“Uwis ra popo. Pergi sana!”
Namun malam mulai beringsut. Akhirnya rencana kepergian ditunda besok pagi. Situasi malam kian kelam. Dalam keadaan gelisah, sedih membuncah serta luka meradang menjamah. Kami duduk terpekur mengitari api unggun. Berharap hantaran panasnya menghangatkan rasa gigil dan takut kami. Menunggu keajaiban pagi datang. Tak ada lagi suara tangis pecah sebab sore tadi sudah terlalu banyak yang ditumpah. Hanya sisa-sisa lelehan yang masih membekas.
“Ya Allah.. semoga aku tetap kuat menghadapi ujian-Mu”
“Fan.. aku harap kamu tidak mencemaskanku. Doakan agar aku dan orang-orang yang masih di sini pulang dengan selamat” pintaku sembari menguatkan hati. “Aku akan menikahimu kalau nanti aku pulang selamat dan berjumpa denganmu. Percayalah..” lagi-lagi gumamku dalam hati.
Aku menarik napas. Bagaimanapun aku harus tetap hidup dan menjalani hidup bersama kekasihku, Fanny. Aku tak boleh menyerah begitu saja. Kerinduan ini sudah pecah. Seperti air mata orang-orang yang di tinggal pergi belahan hati. Tanpa permisi.
Untung perbekalan makanan masih ada. Cukup untuk mengganjal perut kami malam ini walaupun seadanya. “Hai, ada yang belum kebagian jatah makanan?” cetus pak Dodi.
“Kayaknya semuanya sudah” jawabku.
“Teman-teman, walaupun hanya sehelai roti, makanlah! Mudah-mudahan ini sebagai modal tenaga yang akan menyemangati kita bertahan hidup dalam situasi seperti ini” imbuhnya optimis.
“Ya, benar. Bertahanlah kawan!” bisik yang lain.
***
Pagi hari di seberang kota. Pemukiman warga. Dalam sebuah kamar, seorang gadis manis terbangun gara-gara bermimpi buruk. “Pacar saya hilang di tengah hutan! Tapi ternyata itu cuma mimpi. Huft.. untung mimpi, coba kalo beneran, bakal jadi Tarzan dia!” dia berkata pada dirinya sendiri. Ada resah terpancar dalam dirinya. Ibarat embun, resah itu bergelantung di pucuk hatinya.
Tanpa pikir panjang, Fanny, gadis itu meraih handphone miliknya di atas meja. Dia pencat-pencet nomor kekasihnya. Tidak aktif. Gusar semakin menertawakannya.
Tuhan, semoga mimpiku barusan tidak menjadi kenyataan
Aku sayang sama dia
Aku gak mau dia hilang di hutan
Gak mau lihat dia jadi Tarzan beneran
Gak mau lihat dia pakai kolor doang
Gak mau lihat dia ngomong sendiri sama binatang
Gak mau lihat dia selingkuh sama macan betina
Gak mau lihat dia jumpalitan dari pohon ke pohon sambil teriak "AUWOOO!!!"
Semoga ini semua benar-benar hanya mimpi
Amin..
-selesai-

Bumiayu, 15 Februari 2012

No comments:

Post a Comment