Wednesday, March 21, 2012

Cerpen Kelima

HANTU KALIWIRO
lomba cendol secoteng


Dinihari.
“Mbah…!” panggilku. Tak ada jawaban. “Mbah putri!” ulangku.
Sejak hujan sore tadi aku memutuskan untuk tidur di kamar Mbah putri karena hawanya yang dingin. Kini terbangun dan mendapati Mbah putriku-Nyi Narpi, tak ada di kamar. “Pergi kemana dia? Jangan-jangan ke hutan itu lagi” pikirku sambil mengedarkan pandangan. Mengucek mata. Keluar kamar. “Mbah!” teriakku lagi.
Pikiranku melayang ke peristiwa kemarin malam. Ketika aku ikut nimbrung bareng warga yang kebagian jaga pos ronda, mereka membicarakan tentang hantu Kaliwiro.
Hutan pinus di dusun Dempes - Kaliwiro yang tak jauh dari rumah Mbah putri, sekitar 300 meter itu memang tempat paling sering di datangi orang-orang pencari keberkahan (pesugihan tepatnya) ketika malam Jum’at Kliwon, termasuk Mbah putriku juga kata warga yang sering lihat. Dahulu disitu terdapat kuburan masal para korban G30SPKI. Tempat pembantaian puluhan warga sekitar yang di siksa dengan diikat kedua tangan dan kakinya oleh pasukan komunis. Mereka dibiarkan kelaparan begitu saja dan mungkin sengaja dibuat umpan untuk para binatang buas di hutan tersebut. Berhari-hari hingga tubuh mereka melemah lalu mati dililit rasa haus dan lapar yang menjerit.
Saat itu aku terdiam mendengar penuturan cerita warga, tapi aku sedikit masygul. “Lalu apa keistiwewaan tempat tersebut?” tanyaku pada Lik Misno
“Barang siapa yang datang kesitu membawa sesajen berupa makanan; Mie Ongklok, Tempe Kemul dan Wedang Jahe Secoteng, tiba-tiba keluar asap dari atas kuburan tempat diletakannya sesajen. Dan dengan sekejap sesajen itu hilang, berarti doanya terkabul. Nanti ketika orang itu pulang, dalam kamarnya sudah ada setumpuk makanan dan berlembar-lembar rupiah berserakan” jelasnya pasti sambil menyeruput kopi.
“Lho koq bisa? Hanya bermodal sesajen begitu saja bisa menjadi orang kaya raya?” serbuku seakan tak percaya.
“Tapi ya ndak semudah itu, Nak Rizal. Mung wong-wong ‘pilihan’ saja yang bisa melakukannya” Kang Dimin menimpali.
“Pilihan gimana maksudnya?”
“Ya, wong-wong sing nduwe darah keturunan dari para korban termasuk Eyang Ki Sarawangsa. Itupun ndak sembarangan, masih ada syarat liane.”
“Apa lagi syaratnya, Kang?”
“Syaratnya wong iku musti bertapa dulu di Gua Semar selama 40 hari. Jika dia berhasil melewatinya itu menandakan masih keturunan Eyang Ki Sarawangsa dan boleh menaruh sesajen di kuburan masal tersebut” lanjutnya.
“Kalau dia bukan keturunannya, gimana?”
“Bakal celaka! Akan ada dari keluarganya yang meninggal secara mendadak. Karena di hutan tersebut terkenal dengan hantu-hantunya yang kejam. ”
“Oh..!”
Tiba-tiba aku tersadar. Buru-buru ku ayunkan kaki ke sudut ruangan bekas gudang karena hanya ruangan ini yang belum sempat aku periksa. Berharap Mbah putri ada di dalam. Pintu gudang terkunci.
Tok.. tok.. tok!
“Mbah!” Sepi. “Aku dobrak saja apa ya?” gumamku dalam hati.
Braaak! Pintu terbuka. Sesaat hawa dingin menyapa kulitku. Kosong. Gelap, hanya secercah bias lilin yang terjaga. Bau kemenyan menyebar. Di atas lantai keramik beralaskan tikar, tampak nyala merah dupa masih mengepul dan aneka sesajen terjejer rapi.
Aku menangkap tatapan sesuatu yang gelap dari batang-batang kayu yang di senderkan di pojok ruangan. Hatiku berdegub penasaran. Kelihatannya seperti bulatan hitam sebesar kepala berbalut benang-benang kusut.
Ketakutan menyergapku.
Setelah ku kumpulkan keberanian lambat-lambat ku dekati dan ternyata benar, sebuah kepala manusia tertancap di ujung batang kayu. Berwajah susut. Perempuan dewasa. Masih menyisakkan bekas darah dan bau anyir di sekujur batang kayu. “Hoek!”
Lagi-lagi aku menyakinkan diriku sendiri bahwa apa yang ku lihat adalah mimpi. Imajinasi tingkat tinggi. Tapi ketika aku tampar pipiku, terasa sakit.
“Nggak!” gelengku seraya mundur beberapa langkah.
“Aku tidak sedang bermimpi kali ini. Tapi nggak mungkin Mbah putriku seorang pembunuh. Dia Mbah putriku dari pihak Ayah yang masih hidup dan sangat menyayangiku. Buktinya ketika aku kabari akan berlibur ke sini, kedengarannya dia tampak senang sekali. Walaupun memang Ibu menasehatiku untuk selalu hati-hati” pikiranku melayang ke belakang.
Tak berapa lama kemudian dalam situasi mencekam, hordeng jendela tersibak. Angin malam nakal menerpaku dan seisi ruangan. Cahaya lilin sekejap mati. “Bug!” suara batang kayu jatuh. Gelap. “Kreek.. Jedug!” pintu tertutup.
“Hoi, siapa yang menutup pintu?”
“Aku masih di dalam. Tolong buka pintunya!”
“Mbah.. Mbah putri!” teriakku sambil meraba-raba menuju pintu.
Dan tanpa terasa aku berjalan ke arah kepala yang tertancap di batang kayu. Bukan malah menuju ke arah pintu. “Ya Tuhan, mana pintu keluarnya? Perasaan tadi di sini” masih meraba-raba. “Hm, koq lembek? Seperti sebuah daging.”
“Ah, sial! Ini kan kepala perempuan tadi. Hiii..!” umpatku bergidik.
“Aku harus keluar. Ya, aku harus pergi dari sini”
Dalam keadaan tidak bisa melihat, kakiku menginjak benda bulat keras. Aku jongkok. Rasa keingintahuanku menonjok. Setelah tanganku meraba-raba hampir merata, tengkorak manusia. “Ya, nggak salah lagi. Ini tengkorak manusia” aku yakin.
Aku berdiri dan terus terseok-seok mencari pintu keluar, mentok di sebuah jendela. Terkunci. Dengan sangat hati-hati aku membukanya berharap bisa keluar dari dalam gudang. Dan benar jendela terbuka, tanpa pikir panjang aku melompat keluar. Berlari menjauh ke pos ronda.
Di pos ronda.
Ono opo mas Rizal, ngos-ngosan gitu? Koyo di kejar-kejar setan” ledek si Dul.
“Iya ada apa, Nak?” Kang Slamet nimbrung.
“Anu.. di gudang rumah Mbah putri ada kepala manusia!” jawabku terbata.
“Lho yang bener, Mas?”
“Bener, Kang!”
“Wah, jangan-jangan benar kalo Nyi Narpi itu yang sering melakukan tumbal pesugihan” ceplos si Dul. “Buktinya di rumahnya ada kepala manusia, ya tho?”
“Huss.. ngomong opo koe? Sembarangan!” sergah Kang Slamet.
“Coba tenangin dulu. Jangan berpikiran yang negatif, mungkin nak Rizal salah lihat” H. Mansur angkat bicara seraya menyodorkanku segelas air putih. “Di minum dulu.”
Matur nuwun, Pak?”
Inggih!”
Setelah agak tenang, aku menceritakan awal kejadian hingga akhir. Tanggapan mereka ada yang percaya dan tidak. Aku pun demikian. Mereka bercerita tentang hilangnya para gadis di dusun ini. Biasanya para pencari pesugihan yang benar-benar sudah diberi SK oleh para penghuni hutan pinus tersebut, mereka akan di mintai tumbal tiap bulannya. Dan biasanya berbentuk hewan, entah itu kambing, kerbau, sapi, ayam dsb. Tapi baru kali ini mereka mendengar tumbalnya para gadis. Pantesan si Dul ngotot terus.
***
Pagi hari.
Di dapur, Mbah putri sedang sibuk menyiapkan sarapan. Mbah putri adalah tipe perempuan tangguh. Ia kurus, berwajah lembut dan beberapa helai -karena sebagian tertutup penutup kepala- rambutnya yang putih jatuh melayang ringan tak beraturan. Semenjak di tinggal Mbah kakung, ia jadi lebih tegar dan mandiri. Ayahku anak tunggal Mbah satu-satunya meninggal dunia karena kecelakaan mobil bersama Mbah kakung. Kini, ia hanya tinggal sendiri dan sibuk mengurusi lahan perkebunan sayuran seluas 2 hektar peninggalan Mbah kakung dulu. Anehnya, semakin hari semakin bertambah luas perkebunan Mbah putri. Hingga sekarang kalau tidak salah sudah mencapai 10 hektar lebih.
Rasa penasaranku semalam ingin sekali ku utarakan pada Mbah putri. Tentang menghilangnya Mbah putri semalam, tentang sesajen dan kepala manusia yang tertancap di batang kayu di dalam gudang itu serta pintunya yang tiba-tiba terkunci. Dan lagi tentang cerita warga yang menuduh Mbah putri sebagai pelaku pembunuhan para gadis yang dijadikan tumbal pesugihan. Tapi aku takut Mbah putri mengira aku bermimpi. Dan kalaupun ku jelaskan dengan bersumpah-sumpah, mungkin ia akan memarahiku karena rahasianya selama ini terbongkar. “Ah, nanti saja!”
“Pagi, Mbah?” sapaku agak canggung seakan tak terjadi apa-apa semalam.
“Pagi cucuku. Piye istirahate, lali tho?” balasnya menatapku.
Aku mengangguk. Kemudian ia melanjutkan pekerjaan, menggoreng telur. Di atas meja dapur sudah tertata rapi; tempe bacem, sayur brokoli dan tiga ekor ikan gurami. Kelihatannya enak sekali. “Hm.. boleh langsung makan nih, Mbah?”
“Ya boleh tho. Monggo! Biar Mbah nanti saja. Di Jakarta kamu kan terbiasa sarapan pagi?”
“Hm.. tau aja si Mbah. Oh ya, Mbah.. kenapa nggak nyari pembantu aja?”
“Sudah, Nduk. Mbah sudah nyari pembantu-pembantu yang mau bekerja disini. Tapi mereka nggak betah. Baru satu bulan minta keluar. Angker katanya rumah ini. Yowes mending di lakoni dewekan ae. Lagian ndak terlalu berat” jelasnya.
“Angker? Jadi benar dong kalau semalam aku nemuin kepala manusia di gudang” aku membatin. “Apa jangan-jangan bener juga apa yang di tuduhkan warga pada Mbah putri selama ini. Yang menjadikan tumbal para pembantu-pembantu itu. Dengan alasan mereka nggak betah padahal…”
“Nduk, ngelamun ae. Mikirin opo tho?”
“Nggak, Mbah!”
Owalah.. piye to iki?”
Aku membalas dengan senyuman.
Sambil menikmati sarapan aku terus memikirkan hal-hal aneh pada Mbah putri. Dari cara makan, beliau hanya makan ikan gurami kepalanya saja. Sedang tubuhnya di sisakan begitu saja. “Apa ada hubungannya dengan tumbal kepala-kepala itu?” lagi-lagi aku membatin.
“Nduk, kamu jadi berangkat ke Jakarta besok?” tanyanya memecah keheningan.
“Oh.. jadi, Mbah. Soalnya lusa aku harus sudah masuk kerja”
Yowes mulai saiki barang-barangmu diberesno yo. Biar ndak ada yang tertinggal”
“Iya, Mbah!”
***
Tengah hari.
Di dalam kamar mandi, kebiasaanku sebelum mandi mencukur kumis dan jenggot. Saat asik mencukur, tampak di cermin sekelebat bayangan seperti kepala perempuan melintas di belakangku. Begitu aku menengok tidak ada. “Ah, siang-siang begini mana ada setan berkeliaran” pikirku sambil melanjutkan mencukur. Tak berapa lama bayangan hitam itu melintas lagi, aneh.
Aku mencoba tak menghiraukan kejadian barusan. Selesai mengguyur badan, ketika melangkahkan kaki keluar di lubang pembuangan aku melihat tumpukan rambut hitam bercampur putih. Menumpuk. “Lho rambut siapa itu? Aku kan cuma mencukur kumis sama jenggot tipis nggak sebanyak itu. Hiii..!” aku ngibrit keluar.
Sore hari.
Di beranda rumah, “Pokoknya sebelum pergi dari sini aku harus menguak rahasia apa yang sebenarnya di sembunyikan Mbah putri. Ya, aku harus mengetahuinya” hasratku menggebu lalu diam sebentar, meneguk teh. Gudang semalam tempat terdapat sesajen dan kepala manusia musti aku datangi lagi.
Sesampainya di dalam gudang, lagi-lagi rasa aneh mengepungku. Tidak ada bekas kejadian semalam; tikar, sesajen, lilin, batang kayu, kepala perempuan yang tertancap bahkan tengkorak yang terinjak. Yang ada hanya tumpukan besar kardus-kardus bekas di pojok ruangan. Penasaran apa isi kardus itu, aku membukanya perlahan.
“Ya Tuhan.. ini kepala perempuan semalam. Dupa, lilin, tikar, tengkorak dan batang-batang kayu ini. Benar kata warga, Mbah putri pemuja hantu Kaliwiro dan pemasok para gadis yang dijadikan tumbal untuk memperoleh kekayaan” kali ini aku percaya kuadrat.
Malam hari.
Di luar, hujan deras menari. Petir menggelegar dan melalui jendela kamar yang terbuka, aku melihat kilauan kilat di langit. Petir menggelegar lagi lebih keras beberapa detik kemudian. Aku beringsut keluar menemui Mbah putri. Sudah tidak sabar lagi ingin mengetahui langsung kebenaran darinya.
Di ruang tamu.
“Mbah, Rizal boleh nanya sesuatu nggak?”
“Boleh. Nanya opo?”
“Tentang pesugihan. Dalam agama di bolehkan nggak sih?”
Owalah.. ya ndak lah!”
“Terus kalo ada orang yang tetap melakukan hal seperti itu hukumnya apa?”
“Ya, jelas ha haram.. Itu musyrik namanya, Nduk!” jawabnya sedikit gugup.
Aku mengangguk.
“Mbah.. sekarang jujur sama Rizal. Mbah juga nglakuin pesugihan kan? Rizal denger kabar itu dari para warga sini. Iya, Mbah?”
Mendengar kata-kataku tadi Mbah putri terlihat nggak suka. Ia menuding aku telah di pengaruhi mereka. “Nduk, wong sing ngomong koyo kuwi iku wong sing iri sama si Mbah, ngarti?” tegasnya keras.
“Lalu sesajen, dupa, lilin bahkan kepala manusia bekas tumbal si mbah itu apa? Bukankah itu tanda-tanda orang melakukan pesugihan? Bukankah tiap malam Jum’at Kliwon Mbah selalu pergi ke kuburan masal? Menyembah roh Eyang Ki Sarawangsa hanya untuk mendapatkan harta kekayaan?” tanyaku bertubi-tubi.
“Bohong! Semuanya ndak bener. Mana mungkin Mbah ngelakuin itu semua, Nduk.”
“Bohong gimana, Mbah? Wong itu semua sudah terbukti.”
“Tapi dengerin dulu penjelasan si Mbah!”
“Alaaah.. pokoknya Rizal udah nggak percaya lagi sama si Mbah!” potongku seraya pergi meninggalkan Mbah putri. Masuk kamar. “Nduk.. dengerin si Mbah dulu” sayup-sayup suara masih terdengar dari ruang tamu.
Dalam hati, aku kecewa dan sangat tidak percaya kalau ternyata Mbah putriku benar-benar melakukan apa yang dituduhkan warga selama ini. Aku pejamkan mata berharap malam ini tidak terjadi apa-apa. Besok harus jadi pulang ke Jakarta. Aku ingin menceritakan semuanya pada ibu. Langit di luar masih menyisakkan gerimis yang tak kunjung reda. Rasa kantuk tak mau mengetuk. Pikiranku masih terselimut risau. Akhirnya pun aku mengigau.
***
Pagi-pagi sekali.
Anggun embun masih duduk-duduk di pucuk dedaun. Tapi gemuruh teriak para warga di sekitar rumah Mbah putri terdengar mengalun.
“Nyi Narpi gantung diri!” teriak si Dul.
“Woii.. Mbah Narpi mati!” sahut yang lain.
“Mas Rizal.. Mbah mu meninggal!”
“Maaas.. Mas Rizal! Cepat keluar!”
Aku tersadar. Buru-buru ku beranjak keluar menemui suara-suara gaduh itu. Sepertinya di halaman depan, sangat ramai sekali.
“Siapa yang tega membunuh dan menggantungnya di pohon mangga?” tanya Ki Soleh seraya mengusap dada. “Kejam!”
“Siapa lagi kalo bukan roh Eyang Ki Sarawangsa. Mungkin kali ini giliran Nyi Narpi sendiri yang menjadi tumbal” jawab si Dul sok tau.
“Ah, perkara dia mati gantung diri kek, di bunuh penghuni kuburan masal kek, yang penting sekarang kita turunkan jenazahnya dari atas pohon itu. Ayo!” ajak H. Mansur pada para warga yang menyaksikan.
“Duh, Gusti.. maafin dosa-dosa Mbah putri” pintaku dalam hati. Maafkan kami juga yang lalai atas tingkah laku dan perangai yang buruk karena tak mengingatkan mereka yang luput. Jauh dari petunjuk dan kasih sayang-Mu, amien.”
-selesai-

Bumiayu, 30 Januari 2012

No comments:

Post a Comment