Tuesday, February 21, 2012

Cerpen Kedua


SEPOTONG CINTA
lomba cendol mid semester


Seperti biasa, masih seperti yang dulu bahkan lama sekali. Sejak masih kanak-kanak hingga dewasa beranjak. Aku hanya bisa mencicipi lezatnya cinta hanya sepotong saja, itupun juga dariku bukan mereka. Mereka tak mau berbagi apalagi menyatukan sepotong cinta-nya dengan sepotong cinta-ku.
Aduh, ngapain juga ku mikirin masalah cinta yang musti kupikirkan sekarang adalah gimana caranya dapat kerja. Aku malu pada Ibu dengan janjiku setahun yang lalu ketika selesai diwisuda.
“Bu, nanti Ibu pulang berdua saja ya sama Lik Karyo?”
Lho kamu nggak ikut pulang? tanya Ibu heran.
Nggak bu, aku mau nyari kerja dulu disini siapa tahu ada milik, minta doanya saja” “Yowes, ibu selalu doain kamu, nduk! Semoga anak ibu satu-satunya ini dapat kemudahan mencari kerja dan selalu diberi pertolongan sama Gusti Allah. Jangan lupa kamu juga musti sabar dan tawakal” tutur ibu penuh pengharapan.
Aku masih terseret arus memori waktu dulu. Kepulanganku kali ini mungkin kegelisahan dan rasa bersalah yang teramat pada ibu karena belum kutepati janjiku.
Bus yang kutumpangi padahal seringkali berguncang sebab bersentuhannya ban dengan batu besar dijalan. Tapi belum mengguncangkanku dari kesadaran. Perlahan. Dari balik tirai hujan sore hari pohon-pohon besar di kanan kiri jalan itu seperti perawan mandi basah; segar dan penuh gairah. Ketika angin tiba-tiba bertiup lebih kencang ranting-ranting itu serempak terjulur sejajar satu arah, memberi kesan purba pada panorama asri sebuah desa.
Ketika turun aku amat canggung dan gamang. Gerak-gerik mata warga ditangkap dingin olehku. Pikirku mereka pasti sedang membicarakan kebohonganku tentang janji menjadi orang sukses setelah lulus kuliah. Keahlian akuntasi-ku kusandarkan sepenuhnya pada perusahaan besar bergedung kantoran dan bergaji jutaan perbulan. Tapi kenyataannya sungguh berbeda. Sampai sekarang aku belum bekerja.
Akhirnya, dengan kaki gemetar akupun melangkah menyusuri jalan desa menuju rumah. Tiba-tiba.
“Fin.. Fina!” suara dibelakang memanggilku
Aku pun menoleh “Ratih! Iya kan?” tanyaku
Inggih mbak, Ratih” jawabnya
Owalah.. piye kabare Rat? Sudah lama kita nggak ketemu”
Alhamdulillah, apik mbak! piye sudah jadi orang sukses ya?”
Aku tersenyum untuk melebur ketegangan, “Hm.. belum Rat, nanti lah doain saja ya? Oh ya aku mau pulang ke rumah dulu belum ketemu ibu, matur suwun inggih?”
“Oh, inggih mbak sumonggo. Pokoe tak doain biar jadi orang sukses terus ojo lali sama saya, ya” pintanya.
Aku hanya mengangguk. Usai bertegur sapa dengan Ratih temanku waktu SMP dulu. Aku sangat beruntung bisa melanjutkan kuliah karena kebanyakan anak perempuan disini hanya sampai SMP sudah itu biasanya mereka langsung dinikahkan. Kini keteganganku perlahan mulai menurun. Prasangka buruk berangsur terpuruk. Luruh. Rumput dan tanaman hias liar yang tumbuh disepanjang jalan sepertinya bersorak melihat kedatanganku.
Sampai didepan pintu rumah, aku kembali gagap dan tertegun. Menoleh ke kiri dan kanan seakan ku merasa asing di rumah peninggalan almarhum bapakku sendiri. Ah, mungkin perasaanku saja yang terlalu berlebihan. Sesaat setelah pintu kuketuk beberapa kali disertai salam lalu muncul sekelebat bayang perempuan setengah baya yang raut wajahnya masih tampak bersahaja.
“Wa’alaikumsalam.. Fina? Masya Allah.. piye tho karepe, pulang nggak bilang ibu? Nanti ibu kan bisa suruh Lik Karyo menjemputmu” sergapnya.
Usai kucium tangannya, “Nyuwun sewu bu, Fina sengaja pulang nggak bilang ibu, soalnya aku malu belum dapat kerjaan” jawabku datar.
“Apa urusannya dengan belum dapat kerja, ibu nggak maksain kamu nduk! Kalau pulang ya tetap kasih tahu ibu dulu biar ibu bisa menyiapkan kedatanganmu, masakin sayur asem sama tempe goreng kesukaanmu, piye ngerti kamu?” jelasnya.
“Iya bu, Fina minta maaf, lain kali aku kabari deh!”
Ibu tersenyum tipis lalu menatapku, “Kelihatannya kamu capek sekali, lapar juga kan? Ibu mau belanja sayuran dulu. Soalnya kamu nggak bilang, ya ibu baru mau beli makanan kesukaanmu itu. Sudah, kamu mandi dulu sana terus sholat Ashar habis itu kita makan.”
Aku kemudian masuk kedalam dengan penuh lapang dan hati senang. Ternyata ibu tidak marah bahkan beliau sangat sayang dan perhatian padaku. Walaupun mungkin dalam hatinya ia kecewa karena aku belum membahagiakannya.
Ketika bapakku masih hidup dan mengajariku tentang arti sebuah kejujuran. Beliau mengatakan padaku “Nduk, hidup itu penuh aral lintang dan segudang permasalahan. Bukan hidup namanya kalau tidak ada masalah yang menghadang. Tapi ingat, kamu tetap menjalani semuanya dengan sabar, tawakal, jujur dan tetap semangat.”
“Kejujuran adalah modal utama keselamatan dan kebahagiaan juga jangan lupa dengan ketaatanmu pada Gusti Allah. Karena semua yang terjadi didunia ini tak lepas dari campur tangan dan skenario-Nya.”
Seketika aku merunduk, tak kupandang lagi wajah teduh bapakku yang sangat aku hormati itu. “Iya pak! Insya Allah Fina akan berusaha menjalankan semuanya dengan penuh ketulusan dan kejujuran” jawabku agak serak.
***
“Fin!”
“Iya Lik, ada apa?”
“Begini saja, daripada kamu di rumah nggak ada kerjaan, iya tho? Kebun-kebun bapakmu sudah aku yang merawat dan peternakan ayam juga sudah ada Pak Misno. Nah mendingan kamu nyari kerja disini aja, piye?”
“E.. penginnya aku sih begitu Lik, tapi apa ada?”
“Ada! Tadi aku dengar dari orang-orang katanya Apotek ‘SEDERHANA’ disamping rumah bidan desa lagi membutuhkan tenaga administrasi wanita yang ahli akuntansi” jelas Lik Karyo mantap. “Piye, mau dicoba?”
“Iya, bentar ya Lik! Tak pikir-pikir dulu” timpalku
“Aduh! Jangan kelamaan mikir Fin.. nanti keburu ada yang ngambil”
Yowes, aku kesana besok”
Mungkin benar apa kata Lik Karyo. Selama ini aku terlalu banyak menimbang dan memikirkan sebelum akhirnya memutuskan. Sama persis dengan sikapku yang selalu saja mempertimbangkan ketika mencari kerja di tempat kuliahku dulu. Entah nggak suka lah, nggak level lah, nggak besar gajinya, nggak nyaman orang-orangnya dan beribu alasan lainnya. Sampai sekarang aku tetap menganggur dan mungkin itu sebabnya.
“Begitu dong, itu baru namanya anaknya almarhum Pak Ali” puji Lik Karyo
“Ah, Lik Karyo bisa saja”
Lha wong bener tho, bapakmu kan dulu orang terpandang disini. Beliau terkenal berani, tegas dan jujur pada siapapun. Masa anaknya malah penakut” terangnya.
Agak kesal juga karena aku dibilang penakut, maka dengan sedikit diberatkan aku jawab “Iyaa.. Liik, besok aku kesana. Aku nggak takut kok!”
Keesokan harinya aku sudah siap dengan berkas lamaran. Berharap hari baik juga menjadi nasib baik. Walaupun dalam hati kecilku sedikit tidak menerima kenyataan ini. Aku ingin berubah, tak ingin jadi orang yang selalu terombang-ambing dengan keputusan yang mengambang. Ingin kucoba dengan sepenuh hati dan menerimanya dengan senang hati.
Di halaman depan rumah tampak Lik Karyo sudah dengan sepeda motor jadulnya, siap mengantarkanku ketempat tujuan. Apotek Sederhana. Mendengar namanya saja sudah sederhana, berarti memang sangat sederhana sekali. Obat-obatannya, perlengkapannya dan apa sederhana juga gaji karyawannya?
“Assalamu’alaikum?”
“Wa’alaikumsalam.. Eh, enten opo mbak?”
“Gini bu, kedatanganku kemari mau melamar kerja. Dengar-dengar disini lagi membutuhkan tenaga akuntansi kebetulan aku juga lulusan sarjana akuntansi” terangku.
“Oh, iya iya.. disini memang lagi membutuhkan. Monggo masuk dulu mbak?”
Inggih matur suwun bu!”
Tak selang beberapa lama, muncul seorang ibu setengah baya dengan tubuh besarnya menyalamiku sembari menyapa “Mbak, namanya siapa?”
“Fina, bu!”
“Bu Yati, pemilik Apotek ini. Oh ya, dari mana?”
“Kebetulan dari desa ini juga, aku anaknya almarhum Pak Ali”
“Oh iya iya, ibu tahu. Ibumu Mirah kan?”
“Iya bu! Kok ibu tahu?” tanyaku penasaran.
Lha wong ibumu teman ibu dulu waktu kecil” jelasnya padaku.
“Mir, dulu kau yang merebut Ali dariku padahal aku yang mati-matian mencintainya tapi dia lebih mencintaimu. Asalkan kau tahu Mir, aku masih belum menerima kalau Ali menjadi suamimu, walaupun sekarang ia sudah meninggal. Karena dulu kau pernah bilang kau tak mencintainya tapi kenyataannya kau malah mengkhianatiku. Menghancurkan persahabatan kita dan dihadapanku ini adalah anak dari perkawinanmu dengan orang yang sangat kucintai. Aku berjanji akan kubalas sakit hatiku padamu dengan menyakiti perasaan anakmu. Ya, anakmu Mir, haha” Bu Yati membatin seraya tersenyum sinis.
Kulihat Bu Yati tersenyum ketika melihat-lihat berkas lamaranku, mungkin pertanda dia mengerti betul kemampuanku. Lalu kuberanikan bertanya “Bu, gimana diterima atau tidak lamaranku?”
“Oh ya, dengan senang hati kuterima lamaranmu bekerja disini dan mulai sekarang kamu boleh langsung bekerja. Piye?”
“Alhamdulillah.. beneran bu?” tanyaku seakan tak percaya.
“Iya, bener!” tegasnya.
Tiba-tiba, “Taaarr!” tak sengaja tanganku menyentuh agak keras secangkir gelas suguhan yang berada didepanku hingga tersungkur kebawah. Pecah. Gerakan reflek luapan bahagia yang tak terkontrol merubah mukaku jadi merah, malu parah. Cepat-cepat kuminta maaf dan menjelaskan pada Bu Yati tentang keteledoranku.
“Ya ampuun! Piye tho iki mbak?” ucapnya marah.
Nyuwun sewu, minta maaf bu! Aku nggak sengaja.”
“Ah, yowes lah..”
Aku benar-benar malu pada diriku sendiri.
***
Hari-hari selanjutnya aku rasakan bekerja di Apotek Bu Yati seringkali makan hati. Setiap kesalahan yang kuperbuat sekecil apapun selalu saja mendapat kemarahan. Seperti pagi tadi, gara-gara salah memberikan resep obat padahal buru-buru kuberlari mengejar kembali pembeli yang pergi baru beberapa langkah dan kujelaskan tentang kesalahan resep obat. Tapi ia tetap marah dan maki-maki bahwa aku tak bisa bekerja secara profesional dan teliti. Aku hanya bisa diam dan menahan sesak yang berdesak dihati.
Kupikir semuanya mungkin berawal dari gelas pecah yang masih membuat Bu Yati resah. Tapi apa iya? Masa cuma gara-gara gelas pecah terus-terusan menjadi biang masalah? Lagian juga cuma satu bukan selusin, mbok yo lalikno! Muak aku melihat wajah marahmu yang selalu terbalut make-up tebal-tebal ditambah postur tubuhmu yang gempal. Kekesalanku kini mulai memuncak namun masih terucap dihati.
“Hei.. Dasar pemalas! Melamun saja pekerjaanmu!” omelnya padaku.
“Lihat noh, obat-obat masih berserakan dilemari. Beresin opo?”
Inggih bu!” jawabku cemberut.
Gusti Allah pangeran, kapan kubisa terbebas dari kemarahan yang tak berkesudahan ini. Dulu kuberharap dengan bekerja dikampung sendiri bisa bahagia walau gaji tak seberapa yang penting dekat keluarga, terutama ibuku. Kenyataannya tempat ini sungguh menyiksa rasa batinku. Apa aku berhenti saja? Tapi kalaupun aku keluar, aku belum menyiapkan rencanaku bekerja ditempat lain.
Pukul tiga sore kubersiap-siap pulang. Usai kuberesi semua peralatan kerjaku, tiba-tiba terdengar suara laki-laki menyapaku.
“Assalamu’alaikum.. Karyawan baru ya mbak?”
“Waalaikumsalam.. Iya mas. Mas siapa ya, kok baru keliatan disini?” jawabku grogi sambil balik nanya.
“Aku Samsul anaknya pemilik Apotek ini. Aku bekerja di Jakarta dan sekarang lagi ambil cuti beberapa hari” balasnya.
“Namanya mbak siapa?” tanyanya lagi, kali ini dia agak tajam menatapku.
“Fina!” jawabku.
Aku melirik sejenak, namun pura-pura cuek. Ada getir yang tiba-tiba berdesir, menyentuh jiwaku. Getir itu laksana aroma wewangian mentol yang menusuk hidungku yang sedang terkena flu. Plong. Sam.. Wajah teduhmu mengalihkan perhatianku.
“Oh, Fina. Yowes, mau pulang sekarang ya?”
“Iya mas!”
“Mau diantar opo piye?”
Nggak usah mas, biar nanti Lik Karyo yang menjemputku. Dia sudah terbiasa kok mengantarkanku pulang pergi”
“Oh begitu, rumahnya dimana? “
“Itu mas, dekat lapangan desa. Nggak jauh dari rumahnya Pak Kades”
“Ya. Aku tahu!”
Yowes, aku pamit dulu. Tuh, Lik Karyo udah datang. Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam..”
Masalah kembali muncul. Kali ini, Bu Yati menyuruh Samsul agar jangan terlalu dekat denganku. Entah kenapa setiap aku ngobrol dengannya Bu Yati langsung berteriak “Sam.. Wes ojo diganggu. Biarkan dia meneruskan kerjaanya. Nanti malah keenakan ngobrol, kerja nggak beres gara-gara ditemenin kamu. Ayo pergi sana!”
“Siapa yang ganggu sih bu? Wong cuma nemenin biar nggak BeTe. Iya kan Fin?” tanya Samsul pada ibunya lalu melirikku.
E.. inggih bu! Cuma ngobrol. Lagian aku juga tetap sambil kerja kok!” jawabku setengah membela.
Alah.. pura-pura saja! Pokoknya ibu nggak mau tahu kalian berdua dilarang ngobrol disaat jam kerja. Titik!” tegas Bu Yati.
Ternyata kedekatanku dengan Samsul selama ini, walaupun secara sembunyi-sembunyi telah menumbuhkan benih cinta. Aku merasa sangat nyaman ketika berada disampingnya. Dan kulihat Samsul pun merasakan hal yang sama saat kutegaskan perasaanku padanya. Namun apa boleh buat, ibunya tetap tak menginginkan kita bersama. Tampak sekali rona kebencian menyelimuti wajah Bu Yati kala ku berduaan dengan anaknya. Lalu resahku aku gantung-gantungkan pada langit Tuhan;
Tuhan, lagi-lagi Kau pisahkan aku dengan keseluruhan
Seringkali bahkan tiap waktu Kau slalu begitu denganku
Adakah ketidaksamaan antara aku dan dia?
Hingga terpaksa Kau beri aku dengan pemberian yang sepotong
Cinta, kasih sayang dan kebahagiaan yang serba sepotong
Padahal ingin sekali kurasakan secara keseluruhan tanpa bolong
Tanpa kekurangan dan penderitaan yang teramat lorong
Tuhan, aku juga ingin merasakan seraut kesempurnaan
Dalam meniti kehidupan utuh bersama
Ya, bersama tanpa luka dan cela
Aku terpekur dalam tafakur. Memandangi atap kamarku yang warna catnya sudah agak blur. Tapi hatiku tetap bertanya-tanya pada Tuhan seraya introspeksi diri. Mungkin inilah jalan hidup yang digariskan-Nya padaku. Aku harus menerimanya dengan ikhlas dan legowo. Biarlah Dia yang menuntun jalan hidupku. Biarlah kesempurnaan datangnya berakhiran setelah kuambil itu semua sebagai pelajaran. Mataku kupejam berharap esok hari pikiranku tak lagi runyam.
Nduk! Piye, kamu kerja di Apoteknya Bu Yati senang nggak?” tanya ibu ketika sarapan.
Yo senang to bu, malahan aku betah banget karena bisa kenalan juga dengan anaknya, mas Samsul” balasku sambil membayangkan wajah Samsul.
Moso sih? Ketho’e kamu bohong ya sama ibu? Kamu selalu dimarahi kan sama Bu Yati?”
Nggak kok bu! aku beneran seneng”
“Sudahlah, jangan bohong ibu. Ibu tahu kok! Dulu Bu Yati itu suka sama bapakmu tapi bapakmu menolak, dia lebih memilih ibu ketimbang Bu Yati. Makanya Bu Yati sampai sekarang pun nggak suka sama ibu. Terlebih kamu anak ibu. Sebelumnya kan ibu juga sudah bilang sama kamu, mbok yo kalau mau kerja disitu dipikir-pikir dulu” terang ibu.
“Apa benar itu bu? Oh, jadi selama ini sikap Bu Yati yang nggak suka ke aku itu karena itu” timpalku penasaran dan tanpa disengaja keceplosan.
Loh yo iyo, tapi tadi kamu bilang katanya kamu betah kerja disana. Nggak di musuhin sama Bu Yati ya to?”
Yo sih bu, sebenarnya memang agak nggak suka sama aku tapi aku terima kok! Aku ingin belajar bersabar dan kalau bisa merubah sikapnya yang arogan dan pendendam itu” jelasku sambil mengelap mulutku dengan tisue.
“Ah, kayaknya nggak mungkin bisa bertahan lama kalau tidak ada sesuatu yang membuatmu bahagia disana. Kamu suka ya nduk sama Samsul?”
Aku hanya tersenyum bercampur malu, ibu tahu saja perasaanku.
Yowes, ibu nggak melarang kamu berhubungan dengan Samsul. Namun perlu diingat, ibunya Samsul sampai kapanpun nggak bakal setuju sama kamu. Dia akan selalu memisahkan kamu dengan Samsul. Mungkin ini sebagai balasan waktu dulu ketika cintanya pada bapak dipisahkan oleh ibu, padahal jelas-jelas wong bapakmu yang memilih ibu” tekan ibu.
Mendengar penjelasan ibu dan ucapannya yang mengatakan bahwa Bu Yati sampai kapan pun tak akan merestui hubunganku dengan Samsul. Seketika aku terdiam. Hatiku mulai mendung, lalu seberkas cahaya bening melamurkan pandanganku. Menyembul dan dan tumpah diatas meja makan.
Kemudian ibu menghampiriku, perlahan dia usap kedua pipiku lalu memelukku. “Yowes to nduk, ra popo. Mungkin Samsul bukan jodohmu. Gusti Allah telah menyiapkan jodoh yang lebih baik lagi darinya buatmu. Yang sama-sama saling mencintai dan orang tuanya juga merestui hubungan kalian. Sabar yo nduk?”
-selesai-

Bumiayu, 25 Juli 2011