Monday, December 24, 2012

Rindu


sepatah ranting tua terjerembab usia
bergumul dan dicumbui  tanah lalu terkunyah
ada kenikmatan persetubuhan
yang legal dan territual
di antara keduanya
ada kerinduan ter-ejawantah-kan
saat bagian paling vital
: hati
saling merapal

aku layaknya tanah
acapkali kedua tanganku menengadah
kau layaknya ranting
acapkali gemulai tubuhmu berdenting

tiha
Siti Muftihatul Khoeriah
inginku sapukan angin besar
biar kau luruh dan rinduku mekar
inginku percikkan wewangian
biar saat memelukmu kutak lagi sungkan

rinduku, rindunya kupu-kupu pada saripati bunga
cintaku, cintanya seekor induk singa pada anaknya

protektif yang tidak posesif
komulatif yang tidak komplikatif


***
bumiayu, 221212

Wednesday, December 5, 2012

Cinta atau Firasat?

tiha

Aku tak tahu apakah pesonanya yang memikat atau akalku yang tak ada di tempat.

***

Biarkan Aku 

Biarkan aku melukis bayangmu di taman
Bayang putih bergradasi warna pink
Ditemani bunga-bunga di samping

Biarkan aku menuntaskan lukisan
Sambil mengentaskan kerinduan
Tentangmu

Tentang senyuman
Tentang perasaan
Ya, biarkan aku
 

Monday, November 5, 2012

Cerpen Kesembilan

LINTAH PEMILU


ki sentanu
foto: half-life.wikia.com

Tiba-tiba kepala Karmin merasakan nyeri luar biasa. Ada puluhan lintah numpang minum darah di atas ubun-ubun kepalanya. Segera jemari tangannya mengibas, menyingkirkan lintah-lintah. Mencabuti satu-persatu beban sakit yang membuatnya menjerit. Bahkan saking banyaknya, sebagian tubuh mereka bergelantungan di keningnya.
“Arrghh!”
Karmin meronta merana.
Mulutnya menganga. Menahan geli sekaligus lara. Ludah getir perlahan menggelinding ke tenggorokan. Setengah tak sadar tubuhnya limbung ke lantai. Ternyata hisapan lintah tersebut semakin menghujam, mengikis habis persediaan darah. Hingga melumpuhkan tulang persendian.
“Pak, ada apa? Bapak kenapa?” teriak Tumirah -istri Karmin- sambil lari tergopoh-gopoh mendekati suaminya. Setelah secara spontan melempar kayu bakar hasil buruannya sore ini di teras depan rumah. Kemudian ia mengguncang-guncang tubuh suaminya yang bersender di balai bambu ruang tamu, “Nyebut, Pak… nyebut! Eling kali gusti Allah” ujarnya terus-menerus.
“Arrrghhh!”
Karmin lagi-lagi meronta.
Kedua tangannya masih setia mencabuti lintah di kepala. Tapi semakin ia cabut, rasanya semakin bertambah lintah-lintah menusuk kerangka kepala. “Lintah, Bu! Banyak lintah di kepalaku. Tolong… tolooong!” jerit Karmin ke segala penjuru.
Oalah… ndak ada lintah, Pak. Koyo wong gemblung ae. Eling tho, Pak!” seru Tumirah, gundah.
Entah berapa kali Karmin menjerit, menahan rasa sakit yang tak mau berkelit. Dalam samar-samar ia melihat Tumirah berlari keluar. Tak berapa lama, ia datang lagi sambil membawa Mbah Rusdi, orang pintar di desa mereka dan beberapa warga juga turut serta.
“Mbah, tolongin Kang Karmin. Dia berteriak-teriak seperti orang gila” pinta Tumirah pada Mbah Rusdi.
“Iya, Bu! Akan saya usahakan. Ibu tenang saja” balas orang pintar itu.
Dalam jejal kerumunan para warga, Karmin seperti sebuah mainan penghibur mereka saja. Sebab dalam pesakitan, mulutnya acapkali mengeluarkan kata-kata vulgar, “Lintah keparat! Gigitanmu luar biasa dahsyat! Seperti kemaluan laki-laki menusuk lubang farji! Tapi terasa nikmat! Hahaha…”
Gelak tawa para warga memenuhi balai tamu rumah mungilnya. Rumah sangat sederhana sekali, namun antusias keingintahuan warga mengenai ketidakpercayaan akan ‘ketidakwarasan’ Karmin besar sekali.
“Min, min… kasihan sekali dirimu. Hutang telah menjerat kewarasanmu” iba salah seorang warga.
“Mungkin gemblung gara-gara harga sembako melambung!” timpal yang lain.
“Ya, mungkin juga karena isu kenaikan harga BBM yang jelas dampak susahnya bermuara pada rakyat-rakyat kecil seperti kita”  ujar yang lain ikut menambahkan.
“Mungkin juga karena terlalu memikirkan hutang-hutangnya yang ratusan juta itu belum juga terbayar” ledek Paijo. Matanya melirik ke Tumirah.
Memang akhir-akhir ini tersiar kabar bahwa Karmin begitu depresi. Ini bermula sehabis ia mencalonkan diri sebagai kepala desa di Karangsengon, tempat tinggalnya. Tetapi nasib berkata lain, ia gagal menjadi kepala desa. Bermodal pas-pasan itupun hasil dari meminjam kas sebuah Pondok pesantren, ludes buat dana kampanye. Sebuah tindakan yang terbilang berani mengambil konsekuensi. Demi sebuah jabatan gengsi.
“Sudah, sudah… kalian jangan menuduh seperti itu. Mungkin dia hanya kesurupan. Kita lihat saja, mudah-mudahan Mbah Rusdi bisa mengobatinya” sergah Haji Slamet, menyudahi keributan.
Mbah Rusdi duduk bersila menghadap Karmin. Matanya terpejam. Tangan kanannya memegang sebuah gelas yang berisi air putih. Lalu di dekatkannya gelas tersebut pada mulutnya yang tampak komat-kamit baca jampi-jampi.
“Prooot..!”
Air dalam gelas di semburkan ke wajah Karmin setelah terlebih dahulu dikumur-kumur oleh Mbah Rusdi. Tiba-tiba tubuh Karmin menggelinjang. Matanya melotot, napasnya naik turun dan mulutnya meraung. Persis orang kesurupan. Haji Slamet dan beberapa warga memeganginya agar tak berontak. Sementara itu Mbah Rusdi masih sibuk dengan puja-puji. Agaknya benar kalau Karmin kesurupan.
“Huaaa, panas… panas!” Karmin berteriak kepanasan.
“Cepat, keluar! Ayo!” bentak mbah Rusdi, mulutnya tak henti-henti merapal jampi sedang tangannya mencengkeram tangan Karmin untuk menghantarkan energi positif.
“Huaaa, panas… ya, saya akan keluar. Saya akan keluar. Tapi nanti, hahaha..!”
“Kurang ajar!”
“Hahaha… dasar kalian, manusia bodoh! Mau-maunya hidup susah. Jadilah kalian seperti lintah, lihai mencari mangsa yang segar berdarah. Hahaha…”
Begitu merasa dikerjai, Mbah Rusdi semakin kuat mencengkeram dan semakin keras merapal mantra. Karmin semakin kelojotan. Mendesis manis dan berceracau memukau. Sebagian orang-orang yang menyaksikan dibuat penasaran.
“Maksudnya apa, segar berdarah?” timpal Paijo, heran.
“Hahaha… kalian memang goblok! Ya, kalian rampok saja para orang-orang kaya di desa ini. Kalian curi dan hasilnya kalian nikmati sendiri. Kalau mereka melawan, bunuh saja! Kikikik…”
Paijo mengangguk pelan. Sepertinya ia termakan omongan ngelantur Karmin.
 “Hei, Jo. Jangan percaya ocehan sesat Karmin. Dia lagi kesurupan” ujar Haji Slamet. Dia wanti-wanti kalau Paijo benar-benar akan menuruti ajakan Karmin. Maklum, Paijo pemuda pengangguran yang sangat mudah tergoda punya banyak uang secara instan.
“Nggak, Kang! Saya juga tahu mencuri itu dosa” balas Paijo. Matanya mengarah ke Haji Slamet.
Setan apa yang merasuki tubuh Karmin, pikir mereka, hingga susah sekali mengeluarkannya.
Memang baru kali ini Mbah Rusdi merasa agak kesulitan. Biasanya dengan hanya tiga kali baca mantra dan satu semburan saja, setan langsung pergi. Keampuhan mantra yang dimilikinya luar biasa. Karena dulu ada juga orang yang menantang kesaktiannya. Namun  na’as, si penantang tak kuat menahan kekuatannya hingga ia sendiri yang jatuh terkapar. Sekarang, entah setan apa yang  menghalangi kekuatannya. Bersikukuh tak mau keluar dari tubuh Karmin. Di lihat dari igauannya yang sering menyebut seekor lintah kemungkinan besar setan yang merasuki Karmin adalah setan lintah.
“Hai, setan lintah! Cepat keluar! Atau kau mau aku bacakan mantraku yang baru dan dijamin kau bakal sujud minta ampun!” bentak Mbah Rusdi sekali lagi.
“Hahaha… aku tidak takut! Silahkan saja!”
Dengan cukup lama mengingat-ingat kembali memori hapalannya, Mbah Rusdi menunduk tenang. Terpejam. Dua bulan yang lalu ia bermimpi didatangi gurunya dan diajarkan doa Rumeksa ing Wengi. Setelah sebelumnya didahului puasa mutih selama empat puluh hari sebagai syarat mutlak untuk bisa mengamalkannya.
Ana kidung rumeksa ing wengi
teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
…..
“Ada kidung rumeksa ing wengi. Menyebabkan kuat selamat terbebas dari semua penyakit. Terbebas dari segala petaka. Jin dan setan pun tidak mau…”
Mbah Rusdi merapal kidung sambil berdiri memegangi kepala Karmin. Mentransfer energi positif.
“Arrrggghhh! Panas… PANAS!!”
Mbah Rusdi tak bergeming ketika menyaksikan Karmin menjerit kepanasan. Ia terus-menerus membaca doa ampuhnya. Perlahan otot tegang Karmin mulai mengendur. Pundaknya turun dan napasnya lepas. Raungan terhenti. Lalu diam tak sadarkan diri.
Orang-orang yang mengelilingi tampak takjub dengan mantra baru Mbah Rusdi yang terbukti cespleng dan senang melihat Karmin pingsan, sebab setan yang merasuki tubuhnya kini sudah pergi. “Syukurlah Karmin sudah tenang. Biarkan dia istirahat” ucap Mbah Rusdi.
Tumirah yang sedari tadi menangis sesenggukan sekarang mulai berhenti. Para warga pun mulai beranjak pergi. Kini tinggal Tumirah saja yang masih menunggui suaminya siuman.
                                                         ***
Lima tahun kemudian.
Aroma pemilihan kepala desa kembali tercium sengaknya. Tetapi ada yang berbeda dengan pilkades kali ini. Para peserta bakal calon kepala desa tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Dulu, hampir dipastikan ada lima sampai tujuh orang yang maju sebagai calon. Sekarang hanya dua orang saja. Itupun yang satu memang sudah jadi kepala desa yang mencoba mencalonkan diri kembali.
“Kok tumben pilkades di sini minim calon yang mengajukan diri, Pak?” tanya Agus, mahasiswa tingkat akhir jurusan Fisipol yang sedang melakukan penelitian, pada Haji Slamet.
“Ya, gara-gara dulu banyak para calon lurah yang gagal yang kemudian kesurupan. Bahkan ada yang sampai sekarang pun masih belum waras” jelas Haji Slamet.
Lha kok iso, piye tho iki?”
“Begini ceritanya, semenjak ada kejadian Karmin -calon lurah- kesurupan, ternyata perkara kesurupan juga melanda kepada para bekas calon pemilukada yang lainnya. Ada Pak Sodik yang hampir menceburkan diri ke sumur gara-gara kesurupan. Pak Waluyo yang berlari mengitari rumahnya sendiri berkali-kali juga gara-gara kesurupan. Pak Rohim yang ketika kesurupan, hendak membunuh istrinya dengan parang. Dan terakhir Bu Laskmi -satu-satunya calon perempuan- yang kesurupan dan menelanjangi dirinya sendiri di depan para warga. Semuanya berteriak-teriak lintah. Sungguh menggemparkan dan miris melihatnya.
Tetapi yang paling menyedihkan, ya itu tadi si Karmin. Guru ngaji yang miskin dengan dorongan dan hasutan orang-orang, akhirnya mau juga. Ia  masih belum sadar juga sampai sekarang. Sudah modal habis, hutang segepok lalu diusir pula oleh istrinya. Gara-gara gila. Dan anehnya, untuk orang yang menang dalam pemilu, ia biasa saja. Heran. Ini yang menyebabkan warga desa Karangsengon pikir-pikir lagi untuk maju mencalonkan diri. Mereka takut kalah dalam pemilu nanti. Takut kesurupan. Takut gila beneran” terang Haji Slamet panjang lebar.
Agus manggut-manggut mendengarkan.
“Lalu apakah bapak tahu penyebab dari kesurupan bergilir seperti itu?”
“Banyak orang bilang, mereka yang ingin maju mencalonkan diri sebagai kepala desa tidak meminta restu ataupun mendatangi terlebih dahulu makam Eyang Sungkowo, sesepuh desa ini. Akibatnya Eyang Sungkowo marah karena merasa tidak dihormati. Lalu ia kirim suruhannya, setan lintah untuk memberi pelajaran kepada mereka. Sulit dimengerti memang. Bapak juga tidak percaya. Nah, sekarang tugasmu menyelidiki penyebab itu semua dengan ilmu pengetahuan yang kau dapat di perguruan. Piye, Nak?”
Dia berpikir sejenak.
“Wah, kalau urusannya mistis begitu, susah dihubungkan…”
Lha terus opo menurut sampeyan?”
“Apa jangan-jangan begini, Pak. Uang atau harta benda yang mereka gunakan untuk membiayai kampanye dan segala macam sebagian didapat dari pinjaman. Untuk para calon yang bermodal pas-pasan sudah pasti. Bahkan yang calon yang tajir sekalipun ada juga modal pinjaman. Karena pemilu memang menghabiskan dana yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, dana pinjaman itu menjadi beban buat si calon. Mau tidak mau mereka harus mengembalikan. Mereka over optimistis untuk menang dan dengan mudah mengembalikan modal. Tapi kenyataan di lapangan, mereka kalah. Beban hutang, pikiran dan rasa malu yang begitu besar berkecamuk hingga akhirnya depresi. Seringkali.”
Haji Slamet tersenyum. Sepertinya ia pun mengamini apa yang barusan dijelaskan oleh Agus. Perkara kesurupan itu hanya modus si setan lintah ataupun Eyang Sungkowo-nya warga masyarakat agar mereka ingat orang-orang yang sudah meninggal. Ingat perkara akhirat. Orang selamanya tak akan cukup bila ia belum merasakan cungkup. Rumah gubuk sebagai pelindung peristirahatan. Kematian.
_selesai_

Bumiayu, Agustus 2012

Tuesday, October 23, 2012

Puisi Esai

ki sentanu
Foto: sindonews.com

Tangis Kering Sang Aktivis

/1/

Di atas tanah pertiwi ini
Pernah lahir sang pejuang
Pahlawan kemanusiaan   
Pembela keadilan yang timpang
Dia Munir Said Thalib
Suami Suciwati

Aktivis HAM pendiri Kontras
(Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)

Para penguasa orde baru
Yang semena-mena menindas
Membunuh dan membantai rakyat kecil
Oleh Munir mendapat perlawanan keras

Tanpa lelah ia terus mencari fakta
Dan realita, mengungkap berbagai kasus
Pembunuhan orang yang tak berdosa
Meskipun bertaruh darah dan usus
Bahkan tercabut nyawa

Hingga aksi-aksi perjuangannya
Menjadi ‘musuh berbahaya’
Bagi lawan-lawannya
Gerakan ‘human right’ gagasannya
Membuat geram para penguasa (1

Aku sering diancam
Dengan berbagai teror mencekam
Aku bisa ditenggelamkan di lautan
Dibunuh di udara dan trotoar jalan
Aku akan dibuat menderita
Sampai tak bernyawa
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti,
Tutur Munir suatu kali

/2/

Malam sepi
Suciwati wanti-wanti
Memekarkan firasat buruk akan terjadi
Pada suaminya
Yang hendak pergi melanjutkan studi
Ke negeri kincir angin Belanda

Pak, apa tidak bisa ditunda saja berangkatnya?
Tidak bisa, Bu. Besok musti ke Bandara

Malam itu ada pertanda
Akan turun hujan
Kilat makin sering membelah langit
Ketika langit sedetik benderang,
Terlihat awan hitam menggumpal

Suciwati mendengar dari jauh
Suara burung hantu
Menyayat kalbu

Terbaring di samping
Suami tercinta
Kemudian ia teringat besok kepergiannya
Mengucurlah dingin peluh

Suara burung hantu
Ia hubungkan dengan kematian

Hujan lalu terjun bebas
Larut malam semakin berhias

Segala kecamuk jiwa
Menuntunnya ingat sepertiga malam-Nya
Bersimpuh sujud
Mengembalikkan prasangka yang belum terwujud   

/3/

Setelah matahari hampir tenggelam di ufuk barat
Hati Suciwati bergetar hebat

Pikirannya limbung
Saat mendengar langsung
Suaminya tak lagi bernapas   
Di atas pesawat Garuda berkualitas (2

Peristiwa terjadi di hari ke tujuh
Tahun duaribuempat bulan ke sembilan
Persis satu bulan menjelang pelantikan
Presiden dan wakilnya yang baru

Tiba-tiba kesadarannya melayang
Naik mengejar bayang
Suaminya yang sendirian
Lagi kedinginan
Beruntung cepat tersadar dan tidak jadi terjatuh
Namun dari mulutnya keluar rintihan penuh
Mengerang panjang

Lalu ia teringat
Beberapa hari sebelum berangkat
Ia dan kedua anaknya
Dipeluk hangat suaminya
Seraya berkata,
Saya sudah menemukan surga saya!

Ternyata itu kalimat terindah terakhir
Yang ia dengar dari suaminya, Munir

(Kemenangan terbesar para penjahat kemanusiaan
Kesedihan mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan)

Cukuplah kebenaran tangis
Yang jatuh berderai untukmu
Hanya untukmu, suamiku
Tandas Suciwati

Rasa kehilangan terkulai
Pada sudut ruang
Tanpa suara
Tanpa kata

Suamiku, ketuklah daun pintu
Yang tak sampai terkuak angin pagi
Masuklah!
Dan lihat, betapa senja telah murung
Dalam rona cahaya
Ruang hatiku

Rinduku hanya akan melayang
Di hamparan udara
Seperti debu terhempas angin
Seperti asap api lilin,
Suciwati membatin

/4/

Di pusara suaminya
Isak tangis kembali mengudara
Gesekan daun kamboja
Mengajaknya memorabilia

Jangan tangisi
Aku ingin pulang
Ikhlaskan
Biarlah aku tenang
Bersama kesunyian-Nya
Sebab cinta telah membuatku terbiasa
Di dalam-Nya,
Bisik suaminya seolah-olah

Bila kau dengar getar hatiku
Genggamlah jari-jemari tanganku
Agar rasa cinta yang terlahir dari kalbuku
Akan sampai padamu,
Balasnya tanpa lengah

Orang yang tercinta
Kekasih sejati
Sekaligus teman diskusi
Hilang

Dirampas
Begitu saja

Kadang melelahkan
Kalau tidak melepaskan
Perasaan sakit dan kehilangan

Demi prioritas
Kedua anaknya tertawa lepas
Ia harus menyembuhkan dirinya sendiri
Membahagiakan permata hati

/5/

Munir boleh mati
Tapi lentera perjuangannya tak boleh mati
Suciwati boleh lelah
Tapi ia berjanji tak akan menyerah

Tak terus terpuruk dalam lara
Tak terus-menerus menghiba

Jiwa aktivis kembali menitis
Perlawanan masa lalu
Saat membela hak-hak buruh
Menggelora optimis

Hak hidup
Hak berbicara
Hak beragama
Dan sebagainya
Yang kian tersingkirkan
Kepentingan tertentu

Ia bertekad
Mengusung keranda keadilan kuat-kuat
Membongkar dalang besar
Di balik kematian suaminya

Pernah ia sama-sama rasakan
Panas mentari intimidasi
Saat berjalan di divisi advokasi
Bersama buruh yang dikambinghitamkan
Majikannya sendiri

Yang dilecehkan seksualnya
Yang dipeluk cium seenaknya
Yang dipukul saat bekerja bicara

Itu cukup sebagai bukti
Keberaniannya melawan
Ketidakadilan
Tak lagi diragui

Berbagai macam cara terus ia rentang
Lendir perih luka meradang
Dipingpong ke sana ke mari terkadang
Demi merobohkan hukum yang pincang

Hingga fakta ditemukan:
Suaminya dibunuh!
Pada wartawan ia umumkan
Dengan teguh

Lalu bersama kawan-kawan
Ia dirikan organisasi-organisasi kemanusiaan
Bukan hanya aksi solidaritas untuk Munir
Namun lebih ke persoalan kemanusiaan yang dihinakan (3

Desakkan investigasi pada Pemerintah
Menemukan benang merah
Pembunuhan penuh konspirasi
Dan penyalahgunaan kekuasaan
Oleh badan intelejen negara
Tercium ke udara

/6/

Cinta sama sekali
Tak pernah merintangi
Jejak langkah siapapun
Untuk ke depan melaju

Seperti,
Cinta Suciwati

Meski dulu remuk redam
Kasih sayang suami padam

Teruslah kau mekar dalam hatiku
Walau musim terus berganti saban waktu,
Ujar Suciwati

Kembang cintanya senantiasa tengadah
Pada bias cahaya di antara rupa kelam
Cintanya yang terlalu besar
Mengalahkan rasa ragu dan takut yang mencekam

Sedikit perlahan
Dengan perjuangan total
Dan tak henti-hentinya mengingatkan
Baik dalam negeri maupun luar
Untuk menuntaskan kasus ketidakadilan
Mengungkap orang-orang yang dihilangkan
Lumayan terbayarkan

Tirai konspirasi
Dan adagium usang;
‘Kerahasiaan negara’
Lama-lama terkoyak

/7/

Orang pertama yang  menjadi tersangka
Adalah Pollycarpus, sang kopilot Garuda
Seharusnya ia sedang cuti
Demi sebuah misi tersembunyi
Ia pun membuat surat tugas imitasi

Aksi bejat semakin mencuat
Tatkala ia ‘meminta’ Munir
Agar duduk mesra
Bersamanya

Seraut wajah ramah
Bercampur sumringah   
Dari jendela kaca pesawat
Terlihat berbincang hangat
Tanpa terjaga lawan bicara
Tangan kirinya memasukkan sesuatu
Ke dalam minumannya yang satu

Sebelum eksekusi pembunuhan terjadi
Pollycarpus ditelepon agen intelejen senior
Aba-aba puncak teror
Terealisasi pasti

Duapuluh Desember duaribulima
Vonis duapuluh tahun penjara
Oleh hakim dibacakannya
Meskipun sampai saat ini
Ia tetap tidak mengakui
Skenario surat palsu jadi alat bukti

Lalu timbul seribu tanya,
Untuk apa Pollycarpus membunuh Munir?
Apakah ada duri menusuknya?

Darimu itu pasti
Aksi ini tercipta,
Umpat Pollycarpus dengan mulut berapi
Tangannya menunjuk penguasa
Jelasnya, badan intelejen negara

/8/

Kesiur angin membawa berita
Nomor siluman
Yang pernah Pollycarpus terima
Berasal dari Mayor Jenderal Purnawirawan

Muchdi Purwoprandjono namanya
Mantan komandan Kopassus TNI
Menjabat di BIN sebagai Deputi
Diseret juga sebagai terdakwa

Di pelataran pengadilan
Negeri Jakarta Selatan
Awal Desember duaribudelapan
JPU membacakan tuntutan
Muchdi patut diberi ganjaran
Limabelas tahun masa tahanan

JPU memaparkan sejumlah fakta
Surat dari BIN untuk Garuda
Tentang Pollycarpus yang direkomendasi
Sebagai petugas Aviation Security

Hal aneh,
Mengapa BIN ikut nyemplung urusan remeh?

Perang frontal
Di tengah ketidakrelaan
Rahasia terbongkar sial
Berbagai antisipasi nakal dilecutkan

Seperti membungkam
Orang-orang bermulut seribu
Mengorek borok penguasa orde baru
Semisal para pejuang HAM

Usaha para jaksa membongkar kasus
Dan menuntut Muchdi dipenjara
Harus kandas di tengah pusara
Oleh keputusan ketua majelis
Suharto namanya, yang misterius
Serta menimbulkan tanya

Akhir Desember duaribudelapan
Muchdi divonis bebas
Atas keterlibatannya ikut melibas
Sang aktivis kemanusiaan

Kurangkah bukti di pengadilan?
Ataukah ada rupiah dibalik keputusan?
Atau ada ancaman mengerikan bagi penegak keadilan?

Inikah keputusan paling adil?
Dalam memperjuangkan hak asasi manusia
Ketika Pollycarpus sendiri terbukti
Membunuh atas ‘bimbingan’ intelegensi
Dan divonis duapuluh tahun penjara
Sementara Muchdi tidak

Indonesia kini sebagai surga impunitas
Bagi para penjahat HAM berkelas

/9/

Suciwati tidak patah arang
Padanan feminitas dan maskulinitas
Melebur tanpa batas
Menciptakan kesatuan kekuatan
Jiwa srikandi garang
Memperjuangkan haknya yang tumbang

Sampai sekarang
Setelah delapan tahun berjalan
Tak ada bunyi pengusutan
Terlempar jalang

Budaya lupa
Orang Indonesia
Terlanjur mengakar
Liar   
Terbiar

Kadang air membasahi bola matanya
Kala cerita tentang cinta
Namun tak jarang kering seketika
Saat meluapkan kemarahan statusnya

Kepahitan-kepahitan
Yang dicecapnya
Berganti kemanisan cita-cita
Demokratis cinta
Menjunjung hak asasi manusia
Yang semestinya
Impiannya

Gusti, perkenankan aku merayu
Bergelayut dalam selendang arsy-Mu
Tolong, gerakkan Qadar-Mu
Tuk membuka hati
Para penegak hukum di negeri ini,
Pintanya dalam hati

Matahari terus berlari
Mengejar hari-hari

Sementara Suciwati masih berdiri
Memegang panji janji
Pada Pemerintah kini

Menghadapi kegelapan
Hanya dengan lentera keberanian

Hingga saat ini
Ketika mulut tak lagi didengar
Cuma dianggap sesumbar
Justru pledoi terdakwa yang acapkali diumbar

Aku tutup rapat mulut
Tapi aksi diamku tak susut,
Suciwati mentahbiskan

Aksinya bikin decak kagum
Para penyaksi yang datang ke negeri ini
Memandang Pemerintah mata sebelah
Sebab membiarkan rakyat pesakitan;
Orang-orang yang hak asasinya tercampakkan
Yang terlalu lama mengandung lara
Dibiarkan begitu saja (4

Sebuah protes yang sunyi

Kini hanya diam
Menghitung kelam masa lalu
Koar-koar menuntut hak benar
Masih terkubur kekuasaan baru

/10/

Senja merona
Di sebuah pegunungan subur
Di kota Malang, Jawa Timur
Sambil memandang ke luar jendela
Suciwati menelusuri hati,
Kau seperti candu
Yang memaksaku untuk terus mencintaimu
Mencintai jejak perjuanganmu

Selalu ingin ku dengar bisik lirih dari hatiku
Atas keberadaanmu
Di dalam-Nya
Meski takkan lagi bisa ku miliki dirimu
Dalam keutuhan nafasmu

Dulu, kau ingin habiskan masa tua kita di sini
Menulis sambil bertani
Nikmat sekali

Sayang, waktu telah memanggilmu
Mengambil segalamu
Dari rotasi kehidupanku

Di dinding
Bingkai suaminya tertembak hening

Dari ruang tamu
Alif, anak sulungnya
Terdengar menangis, marah dan menggerutu,
Aku mau bunuh Pollycarpus!

Setelah baru tahu
Siapa sebenarnya pelaku
Pembunuhan abahnya

Suciwati datang memeluknya
Erat
Seraya bertanya,
Mengapa Alif mau bunuh Pollycarpus?
Sedikit tenang ia menjawab,
Dia jahat!
Kalau Alif membunuh, Alif juga jahat, bukankah ia juga membunuh?
Tapi kan…

Biarlah Tuhan yang membalas, Nak
Abahmu orang baik
Alif juga harus jadi anak baik,
Ujar Suciwati bijak

Alif memeluk ibunya semakin erat
Ya, Bu. Alif nggak mau seperti dia

Menengok ‘bagian dalam’ kehidupan
Dapat merasakan hidup nyaman
Lupakan ‘bagian luar’ yang sudah tercemar
Memendamnya dalam diri biar tak lagi keluar

Untuk disterilisasi memahami kebajikan
Dengan cara membuang dendam dan
Menggantikannya dengan kelembutan

/11/

Suciwati berjalan di antara gerimis
Terdengar olehnya ritmik suara titik
Air jatuh di sela-sela keheningan
Yang bergulir lamban

Ia hanyutkan amarah
Kekesalan
Ketidakadilan
Di selokan jaman penuh sampah

Beruntung ia masih memiliki cinta
Yang memayunginya dari tolak bala

Bahkan cintanya menjalar
Ke berbagai akar
Akar kesenjangan sosial
Akar para korban kekerasan
Akar melawan lupa

Supaya tumbuh menjadi batang
Nurani dan akal pikiran tinggi menjulang

Semoga pohon itu terus tumbuh berkembang
Berkuntum bunga
Menyatu dalam naungan cinta
Bak pengantin jiwa sepasang

Tersenyumlah, sebab cinta menginginkan
Itu darimu, dari kita berdua,
Ucap sebuah suara tiba-tiba

Sebuah bayangan
Mendekap erat tubuhnya

Suciwati bergetar hebat
Menggigil sesaat
Tak lama kemudian
Ia pun kembali tegar dengan bias wajah penuh senyuman

***

Rossi Elbana
Bumiayu, 20 Agustus 2012
Catatan kaki:

1) Berikut daftar kasus penting dan berbahaya yang ditangani Munir:
Penasehat Hukum masyarakat Nipah, Madura, dalam kasus permintaan pertanggungjawaban militer atas pembunuhan tiga petani Nipah Madura, Jawa Timur; 1993
Penasehat Hukum dalam kasus hilangnya 24 aktifis dan mahasiswa di Jakarta; 1997-1998
Penasehat Hukum dalam kasus pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat sipil di Tanjung Priok 1984; sejak 1998
Penasehat Hukum kasus penembakan mahasiswa di Semanggi, Tragedi 1 dan 2; 1998-1999
Anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur; 1999
http://nusantaranews.wordpress.com/2009/01/04/membongkar-pembunuhan-munir/

2) Pihak keluarga almarhum mendapat informasi dari media Belanda bahwa hasil otopsi Munir oleh  Institut Forensik Belanda (NFI) membuktikan bahwa beliau meninggal akibat racun arsenik dengan jumlah dosis yang fatal.
http://nasional.kompas.com/read/2008/06/19/22025444/kronologi.kasus.pembunuhan.munir/

3) Suciwati, perempuan yang pernah mendapatkan gelar Asia’s Hero 2005 versi majalah Time, tidak pernah berhenti memperjuangkan keadilan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Meski kini tinggal di Malang dan membuka sebuah toko suvenir dan oleh-oleh, ia mampu membagi waktu untuk mengurus berbagai aktivitasnya yang lain. Di antaranya Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM), Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Kontras (komisi yang menangani kasus orang hilang dan tindak kekerasan, dibentuk almarhum Munir) dan Imparsial (LSM yang bergerak dalam pengawasan dan penyelidikan pelanggaran HAM di Indonesia).

4) Sejak 18 Januari 2007 hingga kini, setiap Kamis, JSKK menggelar Kamisan, yakni aksi diam dan berdiri di depan Istana Merdeka dengan menggunakan payung hitam dan berbaju hitam, dalam ‘aksi diam menolak lupa’.
http://rustikaherlambang.wordpress.com/2012/05/06/suciwati/

Friday, October 12, 2012

Pintaku Untukmu


Assalamu’alaikum.

Dear adek, apa kabar?
Apa kabar dengan hati yang penuh keberkahan di bulan Ramadhan?

Adek…
Selamat atas prestasi-prestasi yang adek telah raih akhir-akhir ini. Semoga selalu menginspirasi. Mudah-mudahan senyum kebahagian selalu menari di bibir manismu. Mengarak ke lesung pipimu. Bertambah anggun dengan kerudungmu yang abu-abu. Dan yang pastinya, kesehatan selalu kau prioritaskan nomor satu. Walaupun adek perawat, kesehatanmu pun harus terawat. 

Adek…
Seperti yang pernah adek bilang kemarin.  Kakak memang sudah berubah sekarang. Perubahan yang kakak rasakan memang cenderung lebih ke arah negatif. Asumsi kakak begitu. Buktinya adek pun merasakan hal yang sama atas sikap kakak yang tidak biasa. Mengusung egoisme. Apatis. Keakuanku padamu selalu berbunyi bak sirine. Memekakkan telinga adek dan orang-orang di sekitar. Esensinya, kakak bikin adek nggak nyaman. Itu.

fanny ys
Perubahan ini bukan gara-gara dulu, perasaan kakak sempat adek diamkan beku. Bukan masalah hati kakak yang sempat tersumbat oleh kata ‘maaf, bagi adek, kakak tetap kakak terbaik buat adek’ bukan. Tetapi perubahan ini semata-mata sebagai peredam nafsu kakak yang menggebu. Menginginkanmu. Over confident. Dan sangat konyol memang. Keterdiaman ini sebenarnya membuat kakak malah sakit. Demi adek, kakak mencoba belajar ikhlas. Lebih tepatnya merelakan perasaan kakak hanyut. Mengalir dalam sungai takdir.

Adek…
Pilihan-pilihan hidupmu. Jadi, hanya doa-doa kebaikan, keselamatan dan kemudahan adek dalam meniti jalan, yang terucap maupun tidak terucap dariku untukmu. Ya, semoga kebahagiaan muaranya. Akhir dari segala.

Dan adek… kau membuat kakak banyak belajar dalam sakitnya kakak ketika terhujam mendekam dalam tebing yang tajam. Adek membuat kakak ingin belajar menjadi orang ‘besar’ dalam berlapang dada. Dan ucap terakhir kakak, semoga adek akan selalu baik adanya. Kakak minta maaf yang sebesar-besarnya. Baik disengaja maupun tidak disengaja. Sekian dan terima kasih.

Wassalamu’alaikum.

Bumiayu, 22 Juli 2012

Tuesday, May 8, 2012

Mistikus Cinta

SHOCK TERAPHY


"Satu-satunya persembunyian yang tak kan ditemukan bahkan tak kan terungkap sepanjang jaman adalah rasa perasaan yang direngkuh kesunyian hati lalu diselubungi dengan tabir jiwa yang malu dan dilipat oleh keterdiaman bahasa."

"Sekali lagi aku bermimpi tentangmu, yang seharusnya bisa kulupakan. Namun kenyataan membawaku pada titik balik. Semakin keras usahaku menghapusmu dari segalaku, justru yang terjadi adalah kau semakin tampak jelas pada tiap mimpiku."

#To dream lover; Fanny YS



Pesan yang ku kirim:
"Seperti bunga yang tak sempat mekar di musim semi; seperti itulah segalaku atas dirimu."

Pesan balasan:
"Masih ada musim gugur dan musim dingin berikutnya. Itu berarti, masih ada pula musim semi yang lebih indah dan akan memekarkan bunga cinta kakak."

#My little sister; Kilan

Bumiayu, 08 Mei 2012

Sunday, May 6, 2012

Dialog Hati


DISKUSI NON FIKSI
Lagi-lagi syahwat terus memaksaku
Bergejolak dan lantang berteriak:
"Ayo, salurkan hasrat seksualmu!"

Cuping telingaku dengan sadar menerima radar
yang terlontar dari lubuk nafsu, lagi:
"Ayo, cepat! Mumpung masih banyak para penjual hati di pinggiran jalan!"

Akal melesat menghimpun kumpulan yang terserak
Mengiyakan nikmat yang akan kudapat:
"Ya, kapan lagi aku bisa merasakan nikmat jutaan watt, kalau tidak sekarang!"

Kebimbangan datang menyergap
Ketakutan hadir menyesap
Keinginan masih meluap

Ku rasakan gerimis malam semakin tajam
Tanpa diminta, tiba-tiba nurani berfatwa:
"Jangan! Bukankah kau seorang santri yang notabennya tahu hukum agama?"

Lagi-lagi syahwat terus-terusan memaksaku
Bahkan sekarang ia imingi-imingi:
"Hei! Sekarang nikmatilah duniamu. Belum tentu kau menikmati akhirat surgamu!"

Dengan lantang nurani menentang
Menyambut umpatan syahwat dengan lembut:
"Kata siapa nikmat dunia segala-galanya? Dunia hanya sebatas gelas dibandingkan nikmat akhirat selaut luas. Dan kalau kau benar-benar taat, besar kemungkinan surga itu kau dapat!"

Pikiranku dipaksa mengamini:
Pendapat syahwat
Atau opini nurani

Apa yang musti kuputuskan sekarang?
Tolong, kasih aku saran!

Bumiayu, 06 Mei 2012

Wednesday, May 2, 2012

Sang Nakula



Lagi-lagi seekor burung Jalak menyambar wajahku dan hampir saja aku terpeleset kaget
Kembara meniti perjalanan cinta selalu ada luka

Thursday, April 19, 2012

Kontemplasi Diri

Kebesaran Tuhan


Allahu Akbar (Tiada daya dan kekuatan kecuali milik-Nya)

Pagi bersenandung mesra, memperlihatkan betapa indah bukti nyata akan ciptaan Tuhan. Keberaturan peraturan-peraturan yang DIA cipta, sungguh sangat menakjubkan mata. Tidak saling berebut, adu sikut antar mahluk untuk membuktikan kepada Tuhannya bahwa ‘saya’ lah yang paling taat, paling tunduk, paling cepat menyelesaikan atau mengerjakan tugas yang diperintah-Nya. Mahluk-mahluk ciptaan-Nya yang selain jin dan manusia, merekalah sejatinya mahluk yang setia. Tidak pernah membantah perintah, mengeluh perihnya peluh, membangkang tali kekang, sumringah dalam salah dan keburukan-keburukan sifat lainnya.

Berbeda 180 derajat dengan kita, manusia dan bangsa jin yang acapkali predikat-predikat semacam itu melekat pada diri. Contoh kecilnya, matahari tak pernah bosan mengedarkan sinarnya agar bumi terang. Kalau sehari saja ia tidak muncul kepermukaan, bakal bertanya-tanya manusia. “Ada apa gerangan?”; “Apakah kiamat sudah dekat?”; “Apa mungkin matahari sudah tak mau lagi menyinari dunia?” dan beragam pertanyaan yang sama. Ini menunjukan betapa segala apa yang ada merupakan qudrat dan iradhat-Nya. Skenario Tuhan yang tertulis qalam di lembaran lauhul mahfudz.

Allahu Akbar (Kebesaran-Mu; segala puji-Mu; maha putih-Mu; tak pernah lekang oleh zaman dan hilang seiring bergantinya siang dan malam)

Kesuksesan seseorang, keberhasilan ia dalam meraih cita-citanya di dunia mungkin suatu kebahagiaan tiada tara. Kelebihan ataupun potensi yang dimiliki oleh kebanyakan manusia adalah sebatas kelebihan yang tak seberapa. Namun dengan bangga dan kebesaran egonya ia meneriakkan bahwa apa yang telah diperolehnya merupakan hasil jerih payahnya sendiri. Tanpa campur tangan siapapun termasuk (tak menyebutkan Tuhannya) orang-orang di dekatnya. Padahal sungguh, ia tak ingat bahwa kebesarannya jauh di bawah kebesaran sang pencipta; kewibawaannya tak seberapa dengan kewibawaan Tuhannya; kebaikannya bak setitik debu yang menempel di bawah sandal. ‘Taffakaruu yaa ulil albaab’ berkontemplasilah wahai orang-orang yang dikaruniai pikiran oleh Tuhanmu. Pikirkan dan pelajari ulang, darimana kita, untuk apa ada dan akan kembali kemana?

Setelah kita merenung dan sadar akan apa yang sebenarnya, maka cucurkanlah air mata yang mengalir deras dalam dosa dan raihlah perlindungan dalam segumpal penyesalan. Semoga dengan taubat ini, kita diampuni atas kesalahan dan kekhilafan yang telah kita lakukan. Lahir kembali dengan seperangkat software-nya yang masih bersih dari virus-virus penghancur amal kebaikan. Ya Allah yang maha luas kemuliaanNya, kami bertawassul kepada insan kekasihMu. Kabulkanlah harapan ini dan ampunilah atas dosa-dosa kami. Aamiin.

*belajar merenungi diri sendiri
Cirebon, akhir Februari 2010