CINTA TAK SEMPURNA
lomba cendol perempuan fiksi
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4b5b_1Rlb2p0Z1zU1m7XjYgE0keIf5JhPmSgf9Z8NI-k6TGRJeIo7rXSyTUtPqrJ0R0rGDnN93fQ2pXCMlCTu47HA77tIECZs5Y9Vk6UUZLz43T9ViageP1f_p6ziS1wT3alMLULF-wY/s200/31655_122787004401843_100000116326013_309087_2194100_n.jpg)
Menginjak SD, menjuarai lomba menari tak pernah berhenti.
Waktu SMP juara bernyanyi selalu menghampiri. Hingga SMA tiba, aku mewakili
kotaku menjuarai lomba baca puisi tingkat provinsi. Setelah masuk kuliah baru
prestasi-prestasi akademisi giliran yang ku jajaki. Predikat cumlaud dengan perjuangan gigih akhirnya
dapat ku raih. Alhamdulillah, ucap syukur tak henti-henti meluncur dari mulut
ku.
Sementara sehabis lulus kuliah bermodal ketrampilan
manajemen akuntansi, aku melamar pekerjaan pada perusahaan-perusahaan besar. Papa
memang terkenal sukses bergelut di bidang perdagangan aksesoris Timur Tengah. Tapi
masalah koneksi ke mitra-mitra pengusaha kantoran, ia menyuruhku mencari
sendiri. Walaupun tak sedikit kenalannya yang menduduki jabatan direktur,
supervisor bahkan CEO di sebuah perusahaan terkemuka. “Itu untuk melatih
kemandirianmu, Nael!” ujarnya menasehatiku di ruang tamu.
Aku mengangguk.
Barangkali dari sekian banyak perjuanganku dalam
memperoleh suatu hal, baru kali ini aku merasakan sulitnya mencari sebuah
pekerjaan yang diinginkan. Sebab dari kecil aku selalu dimanjakan dengan
media-media penunjang. Dari mulai les menari, menyanyi sampai mahir berpuisi
pun semua di lakukan dengan mendatangkan para guru yang berkompetensi.
“Iya, Pa! Doain Naela ya biar cepat dapat kerja?” kataku
seraya menggelayut lengannya yang terasa masih ‘berisi’ walaupun kerut di
wajahnya menyebar ke mana-mana.
“Tentu. Papa selalu mendoakan yang terbaik untukmu”
“Makasih ya, Pa?”
Papa tersenyum.
Papa benar-benar sosok kepribadian dan kebapakkan yang
sangat matang dan tanpa cela, menurutku. Mama, lebih sibuk dengan mainan
perhiasan-perhiasan jualannya. Seharusnya kan mama yang lebih perhatian pada
anaknya ketimbang Papa, pikirku. Ya Allah.. biarpun perhatiannya padaku tak
sepenuhnya tapi aku tetap menyayanginya. “Ma, maafkan Naela? Naela sayang Mama”
aku membatin.
Tanpa terasa kabut menuruni kelopak mata. Mengendap
kemudian menguap setelah berjatuhan di atas sofa. Hingga Papa yang sedang asyik
baca koran tiba-tiba kaget mendengar sesenggukan dan bertanya. “Lho kok nangis,
kenapa?” Dengan sigap langsung ku usap kedua pipiku dan mencoba tersenyum
seakan tak terjadi apa-apa. “Nggak kok, Pa!” balasku sambil terus menunggingkan
bibir.
“Nggak gimana, tuh matamu merah?” ujarnya memperhatikan.
“Oh, ini iritasi kena debu kemarin pas jalan-jalan
nyodorin lamaran”
“Ya sudah. Di kasih obat iritasi terus dibawa tidur”
“Iya, Pa!”
***
Beberapa minggu kemudian, setelah perjuanganku berjibaku
dengan interview dan pintaku padaNya
di setiap waktu juga keikhlasan doa orang tuaku, akhirnya aku diterima kerja di
sebuah perusahaan besar swasta. Lambat laun aku mulai sibuk dengan duniaku
sendiri. Hingga tak ada pikiran untuk cepat-cepat menikah. Aku ingin menjadi
wanita karier yang sukses. Biarlah pangeran yang beruntung yang nanti akan
menjemputku dan mengajakku ke pelaminan.
Namun tiba-tiba virus merah jambu itu benar-benar
mendatangiku. Ceritanya begini, pada waktu itu perusahaan tempatku bekerja
mengadakan acara pengajian dalam memperingati hari besar Islam. Yang mengisi
ceramah seorang dai muda lumayan kondang di kalangan masyarakat. Berawal dari
minta foto bareng dia sama teman-teman pas acara selesai dan minta nomor handphone juga, aku mulai dekat
dengannya.
Sampai akhirnya takdirlah yang berbicara. Dia mengajakku
menikah. Tanpa ragu aku mengiyakannya. Sudah dari dulu aku menginginkan calon
suami orang yang paham agama. Karena aku sendiri menyadari betapa minimnya
pengetahuanku tentang agama. Aku beruntung sekali mendapatkannya.
“Qobiltu nikahaha
wa tazwijaha…”
“Sah..?”
“Sah! Amien..”
Begitu mendengar suara itu aku langsung menangis bahagia.
Aku melihat Papa dan Mama tersenyum simpul kepadaku. Melihat lelaki yang berada
disampingku terpancar sinar kasih sayang dan kelembutan. Paripurna suka cita
membahana langit-langit jiwaku.
Setelahnya aku tinggal bersama suami di sebuah rumah
baru. Meninggalkan kenangan bersama orang tua. Tapi dengan sangat terpaksa aku
keluar dari pekerjaan. Suamiku meminta agar aku di rumah saja, tak usah
bekerja. Biar nanti dia yang bekerja. Jiwa kebebasanku berontak tapi tidak
teriak. Aku sadar betul siapa suamiku. Kenapa ia melarang dan menghalangi
cita-citaku yang sedari kecil, menjadi wanita karier. Karena yang berbicara
adalah dia yang menjadi panutanku dalam mengarungi hidup. Maka mau tak mau aku
harus taat padanya.
Sebagai gantinya ia menyuruhku mengajar di salah satu TK
dekat rumah. Kebetulan yang punya sudah kenal baik dengan suamiku. Akhirnya aku
pun mengajar di tempat tersebut. Bergelut dengan dunia anak-anak. Dunia yang
mempersiapkan aku menjadi seorang ibu. “Itu untuk melatih kematanganmu menjadi
calon seorang ibu” begitu katanya padaku. Persis seperti nasihat Papa waktu
itu.
Setahun setelah pernikahan, hingga hari ini, aku merasa
momen dimana aku dipertemukan dengan lelaki yang sekarang menjadi suami, adalah
hal terbaik yang pernah terjadi padaku. Kehidupan pernikahan bisa dibilang
berjalan baik. Satu dua pertengkaran atau ketidakcocokan rasanya biasa dalam
membina bahtera rumah tangga. Sampai aku melahirkan anak pertama, kehidupan
kami tetap bahagia.
Hingga tanpa ada permasalahan yang jelas, suamiku
menjatuhkan talak. Cerai. Begitu saja. Tak ada pertengkaran hebat, tak ada
perempuan lain setidaknya dalam sepengetahuanku.
“Lalu salahnya apa?” tanya Rani, temanku.
“Saya tidak tahu” bisikku lirih, “Sebagai istri rasanya
aku tidak banyak menuntut, tidak minta dibelikan ini dan itu.”
Rani pun heran, ketika aku menjelaskan bahwa suamiku
menceraikanku begitu saja gara-gara ia sudah tidak cinta. Ya, hanya itu
alasannya. Setelah memberikanku seorang anak, kini dengan sangat mudahnya
meninggalkanku. Tanpa rasa bersalah.
“Nggak. Ini nggak adil buatmu, Nael?” Rani menggeleng tak
percaya.
“Percuma, Ran. Kalaupun aku protes terus aku menyalahkan
dia, toh orang-orang nggak bakal percaya. Dia kan seorang dai, mana mungkin
orang tidak percaya omongannya. Pasti mereka menyalahkanku” balasku pasrah.
“Tapi kan..”
“Sudahlah. Mungkin ini takdirku dan yang penting aku rela
dan ridha.”
***
Aku tidak tahu
bagaimana harus bersikap ketika beberapa
lama kemudian terdengar kabar bahwa suamiku sudah menikah. Lelaki yang ku
cintai selama ini ternyata sudah milik perempuan lain. Setelah pernikahan
beberapa tahun dia dan istrinya belum memiliki seorang anak. Akhirnya dia
menikahiku untuk mendapatkan seorang anak. Tapi apa? Aku malah ditinggalkan begitu
saja.
“Aku tidak tahu dia sudah menikah. Dia tidak pernah
memberitahuku” jawabku ketika Rani menanyakan pernikahanku dulu.
“Nael, kenapa sih orang sebaik kamu harus tersangkut
menjadi istri kedua? Sekarang, diceraikan pula. Di mana nurani? Di mana ketulusan?
Dan di manakah moralitas bekas suamimu yang ngakunya dai itu?” tanyanya
berentetan.
Aku hanya diam.
Yang aku ingat hanya kenangan-kenangan indah masa lalu
bersama suamiku. Senyum bahagia di wajahnya ketika mendengar berita aku hamil.
Namun sejak anakku berumur dua tahun, tanda-tanda tidak suka justru yang
mengemuka. Dia jarang pulang. mungkin istri pertamanya cemburu gara-gara
madunya hamil. Lah, aku tak tahu mau dia apa, Menikahiku sekedar memuaskan atau
memang betul-betul ingin mempunyai keturunan.
“Biarlah, Rani. Selama Allah ridha kepadaku…”
-selesai-
Bumiayu, 24 Januari 2012
No comments:
Post a Comment