Wednesday, April 11, 2012

Cerpen Ketujuh


CINTA TAK SEMPURNA 
lomba cendol perempuan fiksi

Awal kisah perjalanan hidupku adalah ketika aku dilahirkan dari keluarga yang cukup dari segi materi. Wajahku pun terbilang cantik menurut versi keluargaku. Boleh dikatakan gadis tercantik dalam keluarga besarku adalah aku. Sebab satu-satunya cucu yang memiliki paras Libanon dari pihak nenek pun cuma aku. Hingga aku selalu menjadi idola bagi keluargaku, simbol kehormatan keluarga turunan Timur Tengah yang terkenal cantik dan megah.
Menginjak SD, menjuarai lomba menari tak pernah berhenti. Waktu SMP juara bernyanyi selalu menghampiri. Hingga SMA tiba, aku mewakili kotaku menjuarai lomba baca puisi tingkat provinsi. Setelah masuk kuliah baru prestasi-prestasi akademisi giliran yang ku jajaki. Predikat cumlaud dengan perjuangan gigih akhirnya dapat ku raih. Alhamdulillah, ucap syukur tak henti-henti meluncur dari mulut ku.
Sementara sehabis lulus kuliah bermodal ketrampilan manajemen akuntansi, aku melamar pekerjaan pada perusahaan-perusahaan besar. Papa memang terkenal sukses bergelut di bidang perdagangan aksesoris Timur Tengah. Tapi masalah koneksi ke mitra-mitra pengusaha kantoran, ia menyuruhku mencari sendiri. Walaupun tak sedikit kenalannya yang menduduki jabatan direktur, supervisor bahkan CEO di sebuah perusahaan terkemuka. “Itu untuk melatih kemandirianmu, Nael!” ujarnya menasehatiku di ruang tamu.
Aku mengangguk.
Barangkali dari sekian banyak perjuanganku dalam memperoleh suatu hal, baru kali ini aku merasakan sulitnya mencari sebuah pekerjaan yang diinginkan. Sebab dari kecil aku selalu dimanjakan dengan media-media penunjang. Dari mulai les menari, menyanyi sampai mahir berpuisi pun semua di lakukan dengan mendatangkan para guru yang berkompetensi.
“Iya, Pa! Doain Naela ya biar cepat dapat kerja?” kataku seraya menggelayut lengannya yang terasa masih ‘berisi’ walaupun kerut di wajahnya menyebar ke mana-mana.
“Tentu. Papa selalu mendoakan yang terbaik untukmu”
“Makasih ya, Pa?”
Papa tersenyum.
Papa benar-benar sosok kepribadian dan kebapakkan yang sangat matang dan tanpa cela, menurutku. Mama, lebih sibuk dengan mainan perhiasan-perhiasan jualannya. Seharusnya kan mama yang lebih perhatian pada anaknya ketimbang Papa, pikirku. Ya Allah.. biarpun perhatiannya padaku tak sepenuhnya tapi aku tetap menyayanginya. “Ma, maafkan Naela? Naela sayang Mama” aku membatin.
Tanpa terasa kabut menuruni kelopak mata. Mengendap kemudian menguap setelah berjatuhan di atas sofa. Hingga Papa yang sedang asyik baca koran tiba-tiba kaget mendengar sesenggukan dan bertanya. “Lho kok nangis, kenapa?” Dengan sigap langsung ku usap kedua pipiku dan mencoba tersenyum seakan tak terjadi apa-apa. “Nggak kok, Pa!” balasku sambil terus menunggingkan bibir.
“Nggak gimana, tuh matamu merah?” ujarnya memperhatikan.
“Oh, ini iritasi kena debu kemarin pas jalan-jalan nyodorin lamaran”
“Ya sudah. Di kasih obat iritasi terus dibawa tidur”
“Iya, Pa!”
***
Beberapa minggu kemudian, setelah perjuanganku berjibaku dengan interview dan pintaku padaNya di setiap waktu juga keikhlasan doa orang tuaku, akhirnya aku diterima kerja di sebuah perusahaan besar swasta. Lambat laun aku mulai sibuk dengan duniaku sendiri. Hingga tak ada pikiran untuk cepat-cepat menikah. Aku ingin menjadi wanita karier yang sukses. Biarlah pangeran yang beruntung yang nanti akan menjemputku dan mengajakku ke pelaminan.
Namun tiba-tiba virus merah jambu itu benar-benar mendatangiku. Ceritanya begini, pada waktu itu perusahaan tempatku bekerja mengadakan acara pengajian dalam memperingati hari besar Islam. Yang mengisi ceramah seorang dai muda lumayan kondang di kalangan masyarakat. Berawal dari minta foto bareng dia sama teman-teman pas acara selesai dan minta nomor handphone juga, aku mulai dekat dengannya.
Sampai akhirnya takdirlah yang berbicara. Dia mengajakku menikah. Tanpa ragu aku mengiyakannya. Sudah dari dulu aku menginginkan calon suami orang yang paham agama. Karena aku sendiri menyadari betapa minimnya pengetahuanku tentang agama. Aku beruntung sekali mendapatkannya.
Qobiltu nikahaha wa tazwijaha…”
“Sah..?”
“Sah! Amien..”
Begitu mendengar suara itu aku langsung menangis bahagia. Aku melihat Papa dan Mama tersenyum simpul kepadaku. Melihat lelaki yang berada disampingku terpancar sinar kasih sayang dan kelembutan. Paripurna suka cita membahana langit-langit jiwaku.
Setelahnya aku tinggal bersama suami di sebuah rumah baru. Meninggalkan kenangan bersama orang tua. Tapi dengan sangat terpaksa aku keluar dari pekerjaan. Suamiku meminta agar aku di rumah saja, tak usah bekerja. Biar nanti dia yang bekerja. Jiwa kebebasanku berontak tapi tidak teriak. Aku sadar betul siapa suamiku. Kenapa ia melarang dan menghalangi cita-citaku yang sedari kecil, menjadi wanita karier. Karena yang berbicara adalah dia yang menjadi panutanku dalam mengarungi hidup. Maka mau tak mau aku harus taat padanya.
Sebagai gantinya ia menyuruhku mengajar di salah satu TK dekat rumah. Kebetulan yang punya sudah kenal baik dengan suamiku. Akhirnya aku pun mengajar di tempat tersebut. Bergelut dengan dunia anak-anak. Dunia yang mempersiapkan aku menjadi seorang ibu. “Itu untuk melatih kematanganmu menjadi calon seorang ibu” begitu katanya padaku. Persis seperti nasihat Papa waktu itu.
Setahun setelah pernikahan, hingga hari ini, aku merasa momen dimana aku dipertemukan dengan lelaki yang sekarang menjadi suami, adalah hal terbaik yang pernah terjadi padaku. Kehidupan pernikahan bisa dibilang berjalan baik. Satu dua pertengkaran atau ketidakcocokan rasanya biasa dalam membina bahtera rumah tangga. Sampai aku melahirkan anak pertama, kehidupan kami tetap bahagia.
Hingga tanpa ada permasalahan yang jelas, suamiku menjatuhkan talak. Cerai. Begitu saja. Tak ada pertengkaran hebat, tak ada perempuan lain setidaknya dalam sepengetahuanku.
“Lalu salahnya apa?” tanya Rani, temanku.
“Saya tidak tahu” bisikku lirih, “Sebagai istri rasanya aku tidak banyak menuntut, tidak minta dibelikan ini dan itu.”
Rani pun heran, ketika aku menjelaskan bahwa suamiku menceraikanku begitu saja gara-gara ia sudah tidak cinta. Ya, hanya itu alasannya. Setelah memberikanku seorang anak, kini dengan sangat mudahnya meninggalkanku. Tanpa rasa bersalah.
“Nggak. Ini nggak adil buatmu, Nael?” Rani menggeleng tak percaya.
“Percuma, Ran. Kalaupun aku protes terus aku menyalahkan dia, toh orang-orang nggak bakal percaya. Dia kan seorang dai, mana mungkin orang tidak percaya omongannya. Pasti mereka menyalahkanku” balasku pasrah.
“Tapi kan..”
“Sudahlah. Mungkin ini takdirku dan yang penting aku rela dan ridha.”
***
Aku  tidak tahu bagaimana  harus bersikap ketika beberapa lama kemudian terdengar kabar bahwa suamiku sudah menikah. Lelaki yang ku cintai selama ini ternyata sudah milik perempuan lain. Setelah pernikahan beberapa tahun dia dan istrinya belum memiliki seorang anak. Akhirnya dia menikahiku untuk mendapatkan seorang anak. Tapi apa? Aku malah ditinggalkan begitu saja.
“Aku tidak tahu dia sudah menikah. Dia tidak pernah memberitahuku” jawabku ketika Rani menanyakan pernikahanku dulu.
“Nael, kenapa sih orang sebaik kamu harus tersangkut menjadi istri kedua? Sekarang, diceraikan pula. Di mana nurani? Di mana ketulusan? Dan di manakah moralitas bekas suamimu yang ngakunya dai itu?” tanyanya berentetan.
Aku hanya diam.
Yang aku ingat hanya kenangan-kenangan indah masa lalu bersama suamiku. Senyum bahagia di wajahnya ketika mendengar berita aku hamil. Namun sejak anakku berumur dua tahun, tanda-tanda tidak suka justru yang mengemuka. Dia jarang pulang. mungkin istri pertamanya cemburu gara-gara madunya hamil. Lah, aku tak tahu mau dia apa, Menikahiku sekedar memuaskan atau memang betul-betul ingin mempunyai keturunan.
“Biarlah, Rani. Selama Allah ridha kepadaku…”
-selesai-

Bumiayu, 24 Januari 2012




No comments:

Post a Comment