GENDERUWO BEGO
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwRvRYcjbfrkpRQmzxJdLG-c0cW7l3Mn_gn56tE3qKumDLnuONqlb9LALoNCrA31eniPJuRY-SpghDLDdrajJAPII6yoot_zqOaGjN65XU969R63u97ze3Rrd1j5dPrR-2JwMjWSpkvq0/s200/index.jpeg)
Sementara kaki menghitung batu-batu jalan mencoba menghindar kejaran si Genderuwo.
Di tengah jalan aku ketemu dengan seorang Ibu Penjual Jamu Gendong. Ibu itu pun
sedang berlari, sama. Bedanya mungkin ia berlari untuk cepat sampai ke desa
sebelah biar gak kesiangan. Bayangkan jam tiga dini hari seorang ibu mencari
rizki tak kenal waktu, pikirku dalam hati. Sambil terus berlari aku perhatikan
kecepatan larinya sungguh melebihiku. Ini karena badanku memang belum jadi benar
(baru latihan jadi atlet lari karena sekarang tubuhku masih lebar, besar dan
menyebar) atau karena Ibu itu memang badannya kurus. Tapi masa iya, dia kan
sambil mengendong keranjang jamu-nya juga? Ah tak masuk akal, pikirku lagi-lagi
tak percaya.
Sampai di pertigaan, ada lampu jalan yang kebetulan nyala karena sebelumnya
banyak yang mati di rusak warga gara-gara jalan mereka rusak dan tidak segera
diperbaiki. Demo ke Kelurahan juga tak di gubris akhirnya lampu-lampu jalan
jadi sasaran amukan. Kembali ke pertigaan, kali ini aku bisa berlari sejajar
dengan Ibu Penjual Jamu. Rasa penasaran yang menari-nari di kepala ingin segera
ku sudahi. Aku ingin tahu wajahnya karena terlihat amat gelap. Persis di bawah
sinar lampu, aku melihat dengan jarak sangat dekat. Bola matanya keluar, di
keningnya terdapat sayatan-sayatan hingga membekas hitam dan pipi sebelah
kirinya bolong, berdarah pula. Hingga tampak biji-biji giginya putih kemerahan.
Alamaak! Hiii.. Bergidik bulu kuduk dan menegang bulu dada. Terkejut campur
takut.
Aku berhenti. Ibu Penjual Jamu itu masih melanjutkan lari sambil
terkikik-kikik. Asem, kenapa baru tertawa ria setelah aku tak bersamanya.
Mungkin saja ia merasa terhibur ditemani olehku. Hiii… nggak lagi deh, ikutan
lomba lari maraton.
Setelah mengatur napas, dibelakang bunyi, “Wes… wess!” sayup-sayup mengisi
telinga. Ah, ternyata Genderuwo juga masih saja mengejarku. Walau dia memakai sepeda mini, lama-lama sampai juga
nanti di sini. Aku harus pergi dan lari lagi.
“Dasar Genderuwo gak punya otak! Ngapain coba lari pakai sepeda mini. Mungkin
dilihatnya mubadzir daripada nganggur dijalan, jadi dipakai saja seenaknya.
Bukankah ia bisa terbang? Bisa menghilang? Lalu dengan tiba-tiba berada si depanku?
Seperti di film-film horor kebanyakan!” umpatku heran sedikit mengejek.
“Gak kreatif bener tuh Genderuwo. Dasar katro!”
imbuhku sambil melirik ke belakang.
Di atas, sisa rembulan kayaknya tertawa sinis melihatku dikejar Genderuwo. Tuh kan bener, senyumnya terasa gak tulus.
Pokoknya aku harus terus berlari dan cepat-cepat sampai ke rumah. Jarak antara
lokasi tempat aku menendang si Genderuwo dengan rumahku kira-kira dua
kilometer.
“Sial! Kenapa tadi aku tertidur ya pas nonton layar tancep. Jadinya aku
ditinggalin sendirian sama temen-temen. Oalah
dasar nasib emang kudu ketemu Genderuwo!” aku bergumam
Mendekati jembatan terakhir menuju desaku lagi-lagi aku dikejutkan dengan
sesosok bayangan. Putih. Dilihat dari aksesoris dan dandanannya, aku tebak dia
pasti Pocong. Ya, bener banget. Anehnya dia menari-nari diatas tugu jembatan
bak biduan. Biduaria tepatnya. Soalnya Pocong kan cowo jadi ya biduaria alias
biduan waria. Sepertinya tariannya aku paham betul. Tari poco-poco. Bukan
gara-gara yang nari Pocong tapi emang bener itu tari poco-poco. Sumpah. Gini-gini
pernah jadi pelatih penari juga.
Bermodal nekad aku terus berlari soalnya kalau tidak Genderuwo tetap mengejar
di belakang. Begitu mendekati Pocong, hampir sejajar, ia tersenyum genit kepadaku.
Ih, amit-amit! Ogah dah nari-nari bareng dia apalagi sampai pacaran.
Setelah selamat melewati, aku menoleh ke belakang, ia melambaikan tangan. “See you.
Good bye, honey. Hihi.. hihi..!” terdengar cempreng suaranya. “Ih, sorry ya bo!” balasku. Lha kok ngikut-ngikut menyamping? Ih, bener-bener
ngefek aura tariannya sampai-sampai aku ikut larut dalam buai kefeminimannya.
“Mana tuh si Genderuwo? Kok gak keliatan. Jangan-jangan dia ketemu pocong
terus diajak nari bareng lagi. Ah, biar saja malah seneng dia udah nggak
ngejar-ngejar lagi” Aku bertanya-tanya seraya memperlambat kecepatan lariku dan
merasakan sedikit lega. Kemudian Aku memutuskan berhenti. Secara Genderuwo bego
itu juga gak keliatan lagi.
Ternyata dugaanku salah. Ketika sampai di mulut desa, pohon nangka besar
tua samping jalan yang terkenal angker itu, dari atas dedaunnya muncul sinar
putih keperak-perakan. Pikirku itu pantulan sinar rembulan yang mengenai
dedaunan. Bukan. Itu adalah efek sinar yang timbulkan dari deretan biji-biji
gigi. Karena sinar itu juga yang menggambarkan sosok wajah timbul. Berambut.
Ada sedikit sapuan bedak di kening dan hidung digantungin cincin segala. Gaul
tapi kok liat ketika tersenyum giginya gingsul. Ah, pasti itu si Genderuwo.
“Hebat kali tahu-tahu sudah nangkring diatas pohon nangka. Mana sepeda mini
yang tadi dipakainya? Tapi kok beda, mungkin ini kembarannya tapi kelihatannya ia
Genderuwo yang pintar dan nggak bego kayak tadi.”
“Hahaha… hai anak muda! Kenapa kau menatapku curiga seperti itu? Ada yang
salah dengan mukaku? Atau iri sama penampilanku yang modis abis?”
Aku ingin menumpahkan tawa sekenceng-kencengnya. Biar semua orang tahu
bahwa aku bertemu dengan para hantu yang fashionable.
Ngetrend. Mengikuti perkembangan
zaman. Dari mulai Genderuwo bego yang menaiki sepeda mini, hantu Ibu-ibu Penjual
Jamu Gendong yang pipinya bolong, Pocong menari tarian poco-poco dan kali ini
giliran Genderuwo yang menindik hidung dan bermake up. “Kayak anak-anak boyband saja, suka dandan” aku berasumsi
seraya diiringi tawa dalam hati.
Zaman sekarang memang sudah edan, begitu firman Eyang Ronggowarsito. Duh,
bener-bener terbukti sekarang efek firmannya. Bahkan lebih gila lagi karena
mereka (para Genderuwo, Pocong, dan sejenisnya) itu kan alamnya beda, bukan
dunia nyata tapi gaib. Bisa ditarik kesimpulan kalau misal ada anak boyband ditanya. “Cowo kok make up-an,
ih!” Dengan lembut ia pun menjawab. “Tenang, kita orang-orang ‘gila’ di dunia
nyata tapi ada yang lebih ‘gila’ lagi, yakni Genderuwo, Sundel Bolong, Pocong
dan Buto Ijo di alam gaib.”
Buru-buru aku tersadar. Barusan si Genderuwo bertanya padaku dan aku belum
menjawabnya. Dengan maksud mencari aman menghindar dari sesuatu yang nggak
diinginkan, aku berlagak memujinya. “Nggak, Om! Aku gak bermaksud curiga
apalagi iri sama om Genderuwo. Aku Cuma takjub aja sama penampilan Om yang luar
biasa modisnya. Keren, euy…”
“Hahaha.. hahaha… jadi om sudah keren ya? Gaul gitu? Hahaha...”
“Ho’oh. Keren abiiiss..!”
Ih, najis orang muka super jelek begitu ngakunya keren. Biar dipoles
bagaimanapun kalo muka jelek ya tetep jelek, GEN-DE-RU-WO. Nggak banget, cuih!
“Hahaha… terimakasih, terimakasih.”
“Hm, kalo gitu aku boleh melanjutkan perjalananku, Om?” pintaku sedikit
sopan.
“Hahaha… enak saja! Nggak boleh, kecuali kalo kamu mau memijitku baru diizinkan
pulang. Om habis jalan-jalan ke mall
nih. Naik turun tangga, capek tau!”
Sebelumnya aku takut tapi begitu mendengar alasannya, lagi-lagi aku
kepingin muntah (memuntahkan tawa, maksudnya)
“Oke! Tapi tiga kali pijitan aja ya? Soalnya aku capek plus masih ngantuk”
“Iyaaa…”
Tiba-tiba, braaak! Bunyi benda keras jatuh tersungkur dari atas pepohonan.
Meringis kesakitan. Tak kusangka ketika Om Genderuwo mau turun dari pohon,
tiba-tiba kakinya tergelincir karena menginjak ranting pohon yang sudah rapuh.
Akhirnya, jatuh.
“Aduuuh.. aduuuh.. apes! Nasib-nasib.”
“Hahaha… hahaha…” akhirnya tawaku tumpah juga. Tanpa rasa takut akan
kesereman Om Genderuwo.
“Juki! Banguuun.. pagi-pagi bukannya siap-siap berangkat sekolah malah
asyik ngelindur sambil ketawa-ketiwi lagi. Bangun!” omel Emaknya.
“Iya
ya… bawel! Orang lagi asyik ngetawain Genderuwo malah dibangunin. Ah, Emak!”
-selesai-
Bumiayu,
02 Februari 2012
No comments:
Post a Comment