Tuesday, April 10, 2012

Cerpen Keenam


SYAIR CINTA TERBELAH DUA
lomba unyu cokelat kopi


Pukul 22.03 WIB
“O, ya Kak…,” Fanny membuka percakapan di ujung telepon. “Besok kita jadi ikutan acara ngebedah novel ADSC-nya mbak Erin, kan?”
“Jadi, insya Allah” jawab Willy mantap.
Willy, kakak kelas Fanny yang sudah dianggap seperti kakaknya sendiri. Begitu lulus, ia lebih memilih mengambil kursus komputer daripada ngelanjutin kuliah.
“Kakak nggak sibuk kan?”
“Nggak, mudah-mudahan kakak bisa ontime.”                          
“Ya udah adek tunggu, ya?”
“Iya…!”
Tuts!
Telepon terputus.
Pukul 09.00 WIB
Liukan angin menghempas jendela ruang kelas II B jurusan IPA yang terbuka. Meninggalkan serpihan daun-daun kering, berceceran di dalam kelas. Angin kemarau berceracau. Sementara di dalamnya anak-anak tampak serius mendengarkan penjelasan Bu Marisa, guru Matematika mereka.
Pukul 13.15 WIB
 “Mah, jam dua siang nanti Fanny mau ngikut acara ngebedah novel penulis terkenal mbak Reni Erina di aula Kadipaten, boleh ya? Soalnya aku udah janji sama temen mau datang.”
“Boleh. Asal jaga diri, ya sayang, ya?”
“Asyik… beres, Mah!”
Pukul 13.40 WIB
Hujan gerimis mengguyur pusat kota. Tapi itu tidak mengusik lalu lalang manusia dalam menjalankan aktifitasnya. Acara bedah novel sebentar lagi dimulai.  Belum ada tanda-tanda Willy datang. Fanny yang sedari tadi duduk di emperan, memandang gelisah ke pelataran jalan raya sekitar Kadipaten Cilacap. Ia masih menunggu ‘kakak’nya melambaikan tangan kepadanya. Sebuah kebiasaan memang bilamana keduanya bertemu. Hm, norak sih tapi enjoy aja lah.
Gerimis perlahan menghilang.
Angin masih berhembus kencang.
Tak berapa lama kemudian,
“Adek…!” suara mengejutkan mampir di telinga sebelah kiri Fanny.
“Kakak!” Fanny terkejut. “Beneran? Tumben nggak melambaikan tangan” tambahnya, meledek.
“Hm, beneran lah… tadi tuh kakak langsung ke belakang, abis udah nggak tahan.”
“Oh, hehe…”
“Udah ah, tuh moderatornya udah teriak-teriak. Ayo, masuk?”
“Oke boss!”
Pukul 16.25 WIB
Willy mengambil motornya di tempat parkiran. Fanny lebih memilih  menunggu di emperan. Menanti kakaknya datang menghampiri.
“Ayo naik, Dek…,” ajak Willy. “Mumpung belum terlalu sore, kakak antar pulang?”
Deg! Seperti ada yang mengalir deras pada arteri Fanny. Kini ia terjerat memori tempo dulu. Ketika ia bersama Ugi, teman sekelas sekaligus pacar pertama yang selalu mengantarnya ketika masih kelas satu. Namun semenjak kepindahan Ugi dan keluarganya ke Jakarta, ia jadi sendiri lagi. Ajakan-ajakan barusan yang keluar dari mulut Willy sangat menyentuhnya. Terlebih bayangan wajah cinta pertamanya yang seolah disuguhkan di depannya. Ah, gimana kabarmu sekarang?
“Hey, bengong lagi. Ayo!”
“Iya, Kak. Bentar…”
“Ngelamun kenapa sih? Masih kepikiran gara-gara tadi nggak dapat doorprize?”
“Enak aja, nggak lah. Mungkin belum rezeki.”
“Ya, ya sip! Haha… “
Jalanan lengang. Tak seperti biasanya. Dan sepasang manusia yang melaju tak begitu kencang pun tampak diam. Sama-sama saling berpetualang pikirannya sendiri-sendiri.
Ah, Ugi. Aku membayangkan seandainya orang yang berada di depanku adalah dirimu. Akan kupeluk erat punggungmu. Biar kau tahu aku sangat takut kehilanganmu. Sekarang, malah kau yang pergi meninggalkanku.
Sementara itu,
Ah, Fanny. Perempuan yang akhir-akhir ini selalu menemaniku dalam berkarya, berburu dan mecoba menduduki sastra. Kini duduk memeluk renggang punggungku. Kesamaan visi ternyata membuat kita lebih dalam menjalin silaturahmi (persahabatan). Sebelumnya, saat aku masih sekolah dulu, malah aku tak begitu mengenalnya.  Ada rasa hangat mengalir di rongga dada. Mungkinkah ini cinta yang memelukku. Ah, lagian dia sudah terlalu nyaman memanggilku ‘kakak’.
“Kak…,” Fanny mengawali pembicaraan. “Kesetiaan seorang cowok jika dihitung dalam persentase, kira-kira berapa persen sih?”
“Jieee, lagi nunggu siapa, hayo?” ledek Willy.
“Ih, apaan sih! Orang nanya doang. Bisa jawab nggak?”
“Hm, lima puluh persen. Tergantung keyakinan masing-masing juga. Kalo mantap dan berkomitmen tinggi, bisa nyampe tujuh puluh bahkan sembilan puluh sembilan persen.”
“Kok gitu?”
“Iya lah. Emang siapa sih cowok yang lagi disenengi adek? Jujur lah sama kakak.”
“Ugi, Kak!”
“Oh, temen sekelasmu  itu, ya? Yang dulu kecil, kurus tapi putih kayak orang cina.”
“Hehe… iya, Kak. Tapi dia sudah pindah ke Jakarta bareng keluarganya. Janjinya, setelah lulus nanti dia akan datang menemuiku lagi.”
“Kasiaaan. Sabar, ya? Kakak yakin suatu saat ia pasti akan datang menjemputmu.”
“Amien… makasih, Kak?”
Pikiran Fanny melayang membumbung tinggi. Ada rona kecewa turut mengekor. Kemudian tanpa disadari lagu Disaat Aku Mencintaimu-nya Dadali, terdengar sangat pilu di hati.
Mengapa kau pergi, mengapa kau pergi
Di saat aku mulai mencintaimu
Berharap engkau jadi kekasih hatiku
Malah kau pergi jauh dari hidupku
………………
Pukul 16.50
Di ruang tamu, empat orang dewasa dan satu anak muda, terdengar berbincang-bincang. Mereka adalah papah mamah-nya Fanny dan  juga Ari beserta ayah dan ibunya. Ari, teman kecil Fanny waktu dulu kini bertandang ke rumahnya. Kabarnya Ari akan melanjutkan sekolah menengah atasnya di sini. Setelah kepindahannya sembilan tahun yang lalu, kini ia akan bermain-main lagi dengan sahabat yang dulu sangat dekat.
“Bener, kamu mau ngelanjutin sekolah di sini?” tanya Pak Agus-papah Fanny, pada Ari.
“Iya, Om.  Sekalian kepengin kangen-kangenan sama Fanny” balasnya sudah nggak tahan melihat Fanny.
“Oh ya, kok nyampai sore gini Fanny belum juga pulang?” potong Bu Dina-ibunya Ari.
“Barusan dia sms udah di ujung gang depan” timpal Bu Lastri-mamah Fanny.
Tak berapa lama kemudian,
“Assalamu’alaikum…” Fanny masuk sembari mengucap salam. “Tumben ramai banget, ada tamu ternyata.”
“Wa’alaikumsalam… Fan, kamu pulang sendirian atau diantar sama temenmu itu?”
“Di antar nyampe depan, Mah. Dia ada keperluan lagi makanya nggak ikut masuk. Cuma nitip salam aja buat mamah sama papah.”
“Oh. Eh ya. kamu masih inget sama dia?” tukas Mamah sambil menunjuk ke arah Ari.
“Hm, ARI?” tebaknya.
“Iya, Fan. Aku Ari Budhiarto” aku si pemuda, polos. Matanya mengitari wajah Fanny.
***
Malam itu, Willy asyik melamun memikirkan Fanny. Sudah satu minggu lebih mereka tidak berjumpa semenjak acara di Kadipaten. Sekarang Fanny sedang menikmati liburan sekolah dengan mengunjungi rumah Eyangnya di Kebumen.
“Aku rasa sudah saatnya aku beritahu Fanny tentang sebenarnya perasaanku padanya” Willy membatin. “Tapi bagaimana caranya? SMS? Telepon?” Dia menopang dagu. “Aha! Ajak ketemuan aja. Lagian aku sudah lama tak bertemu dengannya” Willy tersenyum puas.
Dua minggu kemudian,
Di sebuah teras, sepasang anak muda asyik bercengkerama. Mesra. Sebentar terlihat tangan si cowok mendarat di pipi si cewek, mencubit pelan.
“Fan, kamu ingat nggak dulu, saat kita main sepedaan, kita jatuh ke empang?”
“Ingatlah… kamu emang sengaja kan ngejatuhinnya?”
“Haha… nggak, pas itu aku kan baru belajaran.”
Tanpa di sadari, Willy menyaksikan mereka dari balik pagar. Sebelumnya ia hendak memberi surprise dengan berkunjung ke rumah Fanny secara diam-diam dan ingin mengajaknya ke sebuah tempat. Menanyakan perihal rasa cintanya yang terpendam itu.
Begitu melihat Willy tiba-tiba muncul, Fanny kaget lalu menghambur mendatanginya. “Kakak?” desis Fanny.
Willy mengiyakan.
“Maaf, kakak nggak kasih tahu dulu kalau mau datang. Siapa dia, dek?” Willy membuka helm sambil memandang si cowok di teras sana.
“Temen waktu kecil, baru pindahan dari luar kota dan sekarang ngelanjutin sekolah lagi di sini, bareng adek.”
Willy mengangguk.
“Dek, keluar sebentar, yuk?”
“Kemana, Kak?”
“Kita makan Mie Ayam di tempat biasa.”
“Waduh, adek lagi ngerjain PR sama Ari. Gimana?”
“Sebentar. Kakak juga ada sesuatu yang ingin disampaikan.”
Sayup-sayup pembicaraan mereka pun terdengar oleh Ari. Lalu ia bangkit menghampiri mereka. Ada sepercik api di rongga dadanya. Sebab merasa keasyikannya terusik. “Mau pergi kemana, Fan? Bukannya kita lagi ngerjain PR? Selesaikan dulu lah” tanya Ari memohon.
“Eh, kamu juga, ngapain ngajak-ngajak Fanny? Ganggu aja!” tambahnya menyolot.
“Ari! Ngomong apa sih kamu?” sergah Fanny.
“Mas, aku cuma mau ngajak dia keluar sebentar. That’s wrong, heh?” Willy mulai terpancing emosi.
“Iya lah… orang dia pacarku. Main bawa-bawa aja!”
“Apaaa, kamu pacarnya?!”
“IYA!” Ari still yakin.
“Apa benar itu, Dek…,” Willy meminta kepastian. “jadi selama ini kau sudah menjalin hubungan dengan dia? Shit!”
Fanny tertunduk. Diam. Dalam hati kecilnya ada bongkahan penyesalan atas ketaksetiaannya pada Ugi dan janjinya untuk membuka hati pada Willy. Ya, dia pernah berjanji kalau rasa cintanya perlahan hilang pada Ugi, orang pertama yang di izinkan mengetuk hatinya adalah Willy. Tapi kini… semuanya berubah.
Buru-buru Willy meninggalkan mereka berdua. Ia melaju motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Sambil hatinya bersenandung syair lagu patah hati yang dulu juga sempat dinyanyikan Fanny.
Mengapa kau pergi, mengapa kau pergi
Di saat aku mulai mencintaimu
Berharap engkau jadi kekasih hatiku
Malah kau pergi jauh dari hidupku
……………
Namun itu hanyalah secuil sketsa-sketsa yang terlintas dalam pikiran Willy. Saat itu ia melintasi senja dengan perasaan yang berkecamuk. Dia baru saja menerima kenyataan bahwa seorang yang dicintainya telah memiliki hati lain. Kini, dia harus terbaring lemah di Rumah Sakit karena kecelakaan pada senja kelabu itu.
-selesai-
Bumiayu, 29 Februari 2012

No comments:

Post a Comment