LINTAH PEMILU
![]() | |||
foto: half-life.wikia.com |
Tiba-tiba
kepala Karmin merasakan nyeri luar biasa. Ada puluhan lintah numpang minum
darah di atas ubun-ubun kepalanya. Segera jemari tangannya mengibas,
menyingkirkan lintah-lintah. Mencabuti satu-persatu beban sakit yang membuatnya
menjerit. Bahkan saking banyaknya,
sebagian tubuh mereka bergelantungan di keningnya.
“Arrghh!”
Karmin
meronta merana.
Mulutnya
menganga. Menahan geli sekaligus lara. Ludah getir perlahan menggelinding ke
tenggorokan. Setengah tak sadar tubuhnya limbung ke lantai. Ternyata hisapan
lintah tersebut semakin menghujam, mengikis habis persediaan darah. Hingga melumpuhkan
tulang persendian.
“Pak,
ada apa? Bapak kenapa?” teriak Tumirah -istri Karmin- sambil lari
tergopoh-gopoh mendekati suaminya. Setelah secara spontan melempar kayu bakar
hasil buruannya sore ini di teras depan rumah. Kemudian ia mengguncang-guncang
tubuh suaminya yang bersender di balai bambu ruang tamu, “Nyebut, Pak… nyebut! Eling kali gusti Allah” ujarnya terus-menerus.
“Arrrghhh!”
Karmin
lagi-lagi meronta.
Kedua
tangannya masih setia mencabuti lintah di kepala. Tapi semakin ia cabut,
rasanya semakin bertambah lintah-lintah menusuk kerangka kepala. “Lintah, Bu!
Banyak lintah di kepalaku. Tolong… tolooong!” jerit Karmin ke segala penjuru.
”Oalah… ndak ada lintah, Pak. Koyo
wong gemblung ae. Eling tho,
Pak!” seru Tumirah, gundah.
Entah
berapa kali Karmin menjerit, menahan rasa sakit yang tak mau berkelit. Dalam
samar-samar ia melihat Tumirah berlari keluar. Tak berapa lama, ia datang lagi
sambil membawa Mbah Rusdi, orang pintar di desa mereka dan beberapa warga juga
turut serta.
“Mbah,
tolongin Kang Karmin. Dia berteriak-teriak seperti orang gila” pinta Tumirah
pada Mbah Rusdi.
“Iya,
Bu! Akan saya usahakan. Ibu tenang saja” balas orang pintar itu.
Dalam
jejal kerumunan para warga, Karmin seperti sebuah mainan penghibur mereka saja.
Sebab dalam pesakitan, mulutnya acapkali mengeluarkan kata-kata vulgar, “Lintah
keparat! Gigitanmu luar biasa dahsyat! Seperti kemaluan laki-laki menusuk
lubang farji! Tapi terasa nikmat! Hahaha…”
Gelak
tawa para warga memenuhi balai tamu rumah mungilnya. Rumah sangat sederhana
sekali, namun antusias keingintahuan warga mengenai ketidakpercayaan akan ‘ketidakwarasan’
Karmin besar sekali.
“Min,
min… kasihan sekali dirimu. Hutang telah menjerat kewarasanmu” iba salah
seorang warga.
“Mungkin
gemblung gara-gara harga sembako melambung!” timpal yang lain.
“Ya,
mungkin juga karena isu kenaikan harga BBM yang jelas dampak susahnya bermuara
pada rakyat-rakyat kecil seperti kita” ujar
yang lain ikut menambahkan.
“Mungkin
juga karena terlalu memikirkan hutang-hutangnya yang ratusan juta itu belum
juga terbayar” ledek Paijo. Matanya melirik ke Tumirah.
Memang
akhir-akhir ini tersiar kabar bahwa Karmin begitu depresi. Ini bermula sehabis
ia mencalonkan diri sebagai kepala desa di Karangsengon, tempat tinggalnya.
Tetapi nasib berkata lain, ia gagal menjadi kepala desa. Bermodal pas-pasan
itupun hasil dari meminjam kas sebuah Pondok pesantren, ludes buat dana
kampanye. Sebuah tindakan yang terbilang berani mengambil konsekuensi. Demi
sebuah jabatan gengsi.
“Sudah,
sudah… kalian jangan menuduh seperti itu. Mungkin dia hanya kesurupan. Kita
lihat saja, mudah-mudahan Mbah Rusdi bisa mengobatinya” sergah Haji Slamet,
menyudahi keributan.
Mbah
Rusdi duduk bersila menghadap Karmin. Matanya terpejam. Tangan kanannya
memegang sebuah gelas yang berisi air putih. Lalu di dekatkannya gelas tersebut
pada mulutnya yang tampak komat-kamit baca jampi-jampi.
“Prooot..!”
Air
dalam gelas di semburkan ke wajah Karmin setelah terlebih dahulu dikumur-kumur
oleh Mbah Rusdi. Tiba-tiba tubuh Karmin menggelinjang. Matanya melotot, napasnya
naik turun dan mulutnya meraung. Persis orang kesurupan. Haji Slamet dan
beberapa warga memeganginya agar tak berontak. Sementara itu Mbah Rusdi masih
sibuk dengan puja-puji. Agaknya benar kalau Karmin kesurupan.
“Huaaa,
panas… panas!” Karmin berteriak kepanasan.
“Cepat,
keluar! Ayo!” bentak mbah Rusdi, mulutnya tak henti-henti merapal jampi sedang
tangannya mencengkeram tangan Karmin untuk menghantarkan energi positif.
“Huaaa, panas… ya, saya akan keluar. Saya akan keluar.
Tapi nanti, hahaha..!”
“Kurang ajar!”
“Hahaha… dasar kalian, manusia bodoh! Mau-maunya hidup
susah. Jadilah kalian seperti lintah, lihai mencari mangsa yang segar berdarah.
Hahaha…”
Begitu merasa dikerjai, Mbah Rusdi semakin kuat
mencengkeram dan semakin keras merapal mantra. Karmin semakin kelojotan.
Mendesis manis dan berceracau memukau. Sebagian orang-orang yang menyaksikan
dibuat penasaran.
“Maksudnya apa, segar berdarah?” timpal Paijo, heran.
“Hahaha… kalian memang goblok! Ya, kalian rampok saja
para orang-orang kaya di desa ini. Kalian curi dan hasilnya kalian nikmati
sendiri. Kalau mereka melawan, bunuh saja! Kikikik…”
Paijo mengangguk pelan. Sepertinya ia termakan omongan
ngelantur Karmin.
“Hei, Jo. Jangan
percaya ocehan sesat Karmin. Dia lagi kesurupan” ujar Haji Slamet. Dia
wanti-wanti kalau Paijo benar-benar akan menuruti ajakan Karmin. Maklum, Paijo
pemuda pengangguran yang sangat mudah tergoda punya banyak uang secara instan.
“Nggak, Kang! Saya juga tahu mencuri itu dosa” balas Paijo.
Matanya mengarah ke Haji Slamet.
Setan apa yang merasuki tubuh Karmin, pikir mereka,
hingga susah sekali mengeluarkannya.
Memang baru kali ini Mbah Rusdi merasa agak kesulitan.
Biasanya dengan hanya tiga kali baca mantra dan satu semburan saja, setan
langsung pergi. Keampuhan mantra yang dimilikinya luar biasa. Karena dulu ada
juga orang yang menantang kesaktiannya. Namun
na’as, si penantang tak kuat menahan kekuatannya hingga ia sendiri yang jatuh
terkapar. Sekarang, entah setan apa yang menghalangi kekuatannya. Bersikukuh tak mau
keluar dari tubuh Karmin. Di lihat dari igauannya yang sering menyebut seekor
lintah kemungkinan besar setan yang merasuki Karmin adalah setan lintah.
“Hai, setan lintah! Cepat keluar! Atau kau mau aku
bacakan mantraku yang baru dan dijamin kau bakal sujud minta ampun!” bentak
Mbah Rusdi sekali lagi.
“Hahaha… aku tidak takut! Silahkan saja!”
Dengan cukup lama mengingat-ingat kembali memori
hapalannya, Mbah Rusdi menunduk tenang. Terpejam. Dua bulan yang lalu ia
bermimpi didatangi gurunya dan diajarkan doa Rumeksa ing Wengi. Setelah sebelumnya didahului puasa mutih selama empat
puluh hari sebagai syarat mutlak untuk bisa mengamalkannya.
Ana kidung
rumeksa ing wengi
teguh hayu
luputa ing lara
luputa
bilahi kabeh
jim setan
datan purun
…..
“Ada kidung rumeksa
ing wengi. Menyebabkan kuat selamat terbebas dari semua penyakit. Terbebas
dari segala petaka. Jin dan setan pun tidak mau…”
Mbah Rusdi merapal kidung sambil berdiri memegangi kepala
Karmin. Mentransfer energi positif.
“Arrrggghhh! Panas… PANAS!!”
Mbah Rusdi tak bergeming ketika menyaksikan Karmin
menjerit kepanasan. Ia terus-menerus membaca doa ampuhnya. Perlahan otot tegang
Karmin mulai mengendur. Pundaknya turun dan napasnya lepas. Raungan terhenti. Lalu
diam tak sadarkan diri.
Orang-orang yang mengelilingi tampak takjub dengan mantra
baru Mbah Rusdi yang terbukti cespleng
dan senang melihat Karmin pingsan, sebab setan yang merasuki tubuhnya kini sudah
pergi. “Syukurlah Karmin sudah tenang. Biarkan dia istirahat” ucap Mbah Rusdi.
Tumirah yang sedari tadi menangis sesenggukan sekarang
mulai berhenti. Para warga pun mulai beranjak pergi. Kini tinggal Tumirah saja
yang masih menunggui suaminya siuman.
***
Lima tahun
kemudian.
Aroma pemilihan kepala desa kembali tercium sengaknya.
Tetapi ada yang berbeda dengan pilkades kali ini. Para peserta bakal calon
kepala desa tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Dulu, hampir dipastikan ada
lima sampai tujuh orang yang maju sebagai calon. Sekarang hanya dua orang saja.
Itupun yang satu memang sudah jadi kepala desa yang mencoba mencalonkan diri kembali.
“Kok tumben pilkades di sini minim calon yang mengajukan
diri, Pak?” tanya Agus, mahasiswa tingkat akhir jurusan Fisipol yang sedang
melakukan penelitian, pada Haji Slamet.
“Ya, gara-gara dulu banyak para calon lurah yang gagal
yang kemudian kesurupan. Bahkan ada yang sampai sekarang pun masih belum waras”
jelas Haji Slamet.
“Lha kok iso, piye
tho iki?”
“Begini ceritanya, semenjak ada kejadian Karmin -calon
lurah- kesurupan, ternyata perkara kesurupan juga melanda kepada para bekas
calon pemilukada yang lainnya. Ada Pak Sodik yang hampir menceburkan diri ke
sumur gara-gara kesurupan. Pak Waluyo yang berlari mengitari rumahnya sendiri
berkali-kali juga gara-gara kesurupan. Pak Rohim yang ketika kesurupan, hendak
membunuh istrinya dengan parang. Dan terakhir Bu Laskmi -satu-satunya calon
perempuan- yang kesurupan dan menelanjangi dirinya sendiri di depan para warga.
Semuanya berteriak-teriak lintah. Sungguh menggemparkan dan miris melihatnya.
Tetapi yang paling menyedihkan, ya itu tadi si Karmin.
Guru ngaji yang miskin dengan dorongan dan hasutan orang-orang, akhirnya mau
juga. Ia masih belum sadar juga sampai
sekarang. Sudah modal habis, hutang segepok lalu diusir pula oleh istrinya.
Gara-gara gila. Dan anehnya, untuk orang yang menang dalam pemilu, ia biasa
saja. Heran. Ini yang menyebabkan warga desa Karangsengon pikir-pikir lagi
untuk maju mencalonkan diri. Mereka takut kalah dalam pemilu nanti. Takut
kesurupan. Takut gila beneran” terang Haji Slamet panjang lebar.
Agus manggut-manggut mendengarkan.
“Lalu apakah bapak tahu penyebab dari kesurupan bergilir
seperti itu?”
“Banyak orang bilang, mereka yang ingin maju mencalonkan
diri sebagai kepala desa tidak meminta restu ataupun mendatangi terlebih dahulu
makam Eyang Sungkowo, sesepuh desa ini. Akibatnya Eyang Sungkowo marah karena
merasa tidak dihormati. Lalu ia kirim suruhannya, setan lintah untuk memberi
pelajaran kepada mereka. Sulit dimengerti memang. Bapak juga tidak percaya.
Nah, sekarang tugasmu menyelidiki penyebab itu semua dengan ilmu pengetahuan
yang kau dapat di perguruan. Piye, Nak?”
Dia berpikir sejenak.
“Wah, kalau urusannya mistis begitu, susah dihubungkan…”
“Lha terus opo
menurut sampeyan?”
“Apa jangan-jangan begini, Pak. Uang atau harta benda
yang mereka gunakan untuk membiayai kampanye dan segala macam sebagian didapat
dari pinjaman. Untuk para calon yang bermodal pas-pasan sudah pasti. Bahkan
yang calon yang tajir sekalipun ada juga modal pinjaman. Karena pemilu memang
menghabiskan dana yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, dana pinjaman itu menjadi
beban buat si calon. Mau tidak mau mereka harus mengembalikan. Mereka over
optimistis untuk menang dan dengan mudah mengembalikan modal. Tapi kenyataan di
lapangan, mereka kalah. Beban hutang, pikiran dan rasa malu yang begitu besar
berkecamuk hingga akhirnya depresi. Seringkali.”
Haji Slamet tersenyum. Sepertinya ia pun mengamini apa
yang barusan dijelaskan oleh Agus. Perkara kesurupan itu hanya modus si setan
lintah ataupun Eyang Sungkowo-nya warga masyarakat agar mereka ingat
orang-orang yang sudah meninggal. Ingat perkara akhirat. Orang selamanya tak
akan cukup bila ia belum merasakan cungkup. Rumah gubuk sebagai pelindung
peristirahatan. Kematian.
_selesai_
Bumiayu, Agustus 2012